ZMedia Purwodadi

Catatan Kecil dari Kampus yang Menghijau

Daftar Isi

Di sebuah kampus di sudut Quezon City, seorang mahasiswa menunduk di bawah rindang pohon akasia, membaca catatan tentang perubahan iklim. Angin menggugurkan satu helai daun, jatuh pelan di halaman bukunya, seolah-olah alam sendiri turut memberi catatan kaki pada pelajaran hari itu. Barangkali di situlah, pendidikan lingkungan hidup seharusnya dimulai: dari hal yang bersahaja, dari hubungan sunyi antara manusia dan alam.

Filipina, negeri seribu pulau yang hidup dalam bayang-bayang gempa, badai, dan kenaikan permukaan laut, adalah semacam cermin retak tempat kita menyaksikan benturan antara kehendak membangun dan panggilan untuk merawat. Di negeri ini, tantangan keberlanjutan bukan sekadar ide akademik, tetapi soal hidup dan mati: tentang air yang makin asin, tanah yang longsor, hutan yang terus menyusut. Namun di tengah kerentanan itu, ada satu percikan harapan yang sedang disulam oleh universitas-universitas melalui apa yang disebut Environmental Education for Sustainable Development (EESD), sebuah harapan yang, seperti daun itu, bisa jatuh dan lenyap bila tak dijaga.

Gagasan pendidikan lingkungan di perguruan tinggi di Filipina sebenarnya bukan hal baru. Sejak 1977, mandat dan kebijakan sudah turun, Presidential Decree, Executive Order, dan rancangan strategis nasional, semuanya menyuarakan urgensi agar manusia belajar kembali mengenali jejaknya di bumi. Namun, sebagaimana dikatakan Palmer, pendidikan lingkungan adalah paradoks: semua sepakat bahwa ia penting, tapi nyaris tak menjadi prioritas dalam kurikulum formal. Ini semacam doa yang dilafalkan tapi tak sungguh-sungguh dipercaya.


Lalu muncullah satu upaya yang berbeda, Dark Green Schools (DGS). Sebuah metafora yang menjelma menjadi program. DGS bukan sekadar menambahkan mata kuliah "lingkungan" ke dalam daftar silabus, melainkan membayangkan ulang universitas sebagai ekosistem hidup. Di sana, kebijakan kampus, cara mengelola keuangan, isi perpustakaan, cara membuang sampah, hingga warna daun di halaman kampus, semua harus selaras dengan cita-cita keberlanjutan. Ini bukan hanya pendidikan tentang lingkungan, tetapi pendidikan dalam lingkungan, oleh lingkungan, untuk lingkungan.

Ada yang menyebutnya pedagogy of place, sebuah filosofi belajar yang mengakar pada tanah tempat berpijak. Seperti Rohwedder bilang, kampus bisa jadi teks tersendiri. Jika mahasiswa diajarkan tentang pengelolaan limbah dalam kelas, tetapi melihat sungai di belakang gedung dipenuhi plastik, maka pelajaran itu hanya tinggal ironi. Maka DGS menantang kampus untuk menjadi cermin, bukan topeng, membiarkan tubuh institusi itu sendiri menjadi pesan.

Namun jalan menuju kampus yang hijau tidak pernah mudah. Ada kampus yang berhasil, dinilai "dark green", mencerminkan komitmen menyeluruh. Ada pula yang gagal, karena sistem belum berjalan, semangat hanya bergantung pada individu. Ini bukan kegagalan yang memalukan, melainkan tanda bahwa perubahan paradigma bukan soal satu semester. Ia butuh akar. Butuh waktu. Butuh keyakinan yang tidak goyah meski daun gugur.

Dan bukankah pendidikan sejatinya demikian? Seperti menanam pohon: kita mungkin tak duduk di bawah naungannya, tapi kita tetap menanam. Kita ajarkan pada mahasiswa bukan hanya rumus-rumus sains, tetapi juga bagaimana menjadi manusia yang mengerti batas, yang tidak serakah atas dunia. Kita ajarkan bahwa bumi bukan warisan dari leluhur, melainkan pinjaman dari anak cucu, sebuah ungkapan lama yang terasa klise, tapi menjadi lebih berarti saat dibacakan di tengah kampus yang benar-benar berubah: lebih sunyi, lebih bersih, lebih peduli.

Di akhir laporan tentang DGS, kutipan dari David Orr muncul sebagai peringatan pahit: kerusakan lingkungan justru datang dari orang-orang berpendidikan tinggi. Mereka yang lulus dengan gelar panjang, tapi tak tahu cara hidup berdampingan dengan pohon. Karena itu, gelar tak menjamin kebijaksanaan; kurikulum tak menjamin perubahan. Yang menjamin adalah keberanian untuk hidup dengan kesadaran ekologis, dan kampus sebagai ruang pengasuhan kesadaran itu.

Maka saya bayangkan kembali mahasiswa tadi, masih di bawah akasia, menutup bukunya dan menatap langit. Di kampus seperti itu, pelajaran tidak berakhir di kelas, tapi berlanjut di jalan setapak yang rindang, di keran air yang hemat, di papan pengumuman yang memuat jadwal daur ulang, bahkan di warung kecil yang tak lagi menjual plastik sekali pakai. Semua menjadi bagian dari kurikulum. Semua menjadi bagian dari mimpi: bahwa dari kampus kecil di negeri rawan bencana ini, mungkin akan tumbuh generasi yang tak hanya cerdas, tapi juga tahu cara berjalan di bumi dengan ringan, tanpa meninggalkan luka.

Dan seperti daun yang jatuh tadi, mereka akan menjadi bagian dari tanah, tanpa suara, tapi tak pernah sia-sia.


Sumber baca:

Posting Komentar