Catatan di Tepi Senyap
Pada suatu pagi yang lambat, aku menemukan seorang anak duduk sendiri di teras perpustakaan. Tangannya memegang buku tanpa sampul, matanya menatap jauh melampaui halaman, seakan dunia di hadapannya terlalu penuh untuk dipahami sekaligus. Mungkin ia baru saja membaca Mill. Atau mungkin ia sedang belajar menjadi manusia yang bebas.
John Stuart Mill mengajarkan kita bahwa pendidikan bukan semata-mata soal pengetahuan. Ia adalah soal pembebasan: dari kebodohan, dari dogma, dari keharusan yang membelenggu pikiran. Pendidikan, kata Mill, adalah alat untuk membuat kebebasan menjadi mungkin, bukan semata-mata legal tetapi intelektual, emosional, eksistensial.
Namun kebebasan, seperti semua yang bernilai, datang dengan luka. Mill tahu itu. Di masa kecilnya, ia dididik secara ketat oleh ayahnya, James Mill, seorang rasionalis yang mencangkokkan logika dan matematika ke dalam benaknya sejak usia tiga tahun. Anak itu, yang bahkan belum mengenal rasa manis kenakalan, telah dijejali deduksi Aristotelian dan kalkulus moral. Suatu hari, di usia dua puluh, ia runtuh. Ia menatap dirinya di cermin eksistensi dan bertanya: Andai semua impian reformasi sosial terwujud, apakah aku akan bahagia? Jawabannya diam, dingin.
Pendidikan, menurut Mill, harus mempersiapkan individu untuk menjadi bagian dari masyarakat dan sekaligus menjadi dirinya sendiri. Sebuah paradoks yang indah. Dalam On Liberty, ia membela keunikan individu sebagai sumber kekuatan kolektif: dari perbedaan lahir kemajuan, dari dissent tumbuh pencerahan. Maka, tugas pendidik bukanlah membentuk anak seperti cetakan kue, tetapi menyalakan api yang akan membakar gulma konformitas.
Aku teringat seorang guru tua di sebuah desa, yang setiap hari mengajarkan anak-anak bukan hanya mengeja huruf, tetapi mengeja hidup. Ia tak pernah memarahi anak yang menanyakan “mengapa”, bahkan ketika pertanyaan itu mengganggu pelajaran. Ia tahu: setiap mengapa adalah benih kebebasan. Dan kebebasan tidak bisa diajarkan seperti rumus; ia harus dirayakan seperti musim.
Mill juga bicara tentang bahaya dominasi opini mayoritas. Di dunia yang semakin gaduh oleh suara-suara digital, ide ini terasa semakin relevan. Kebebasan berpikir bukan hanya soal membolehkan semua berbicara, tapi juga memberi ruang bagi pendapat yang ganjil, asing, tak populer. Dalam kebisingan hari ini, kita lebih sering mendengar gema daripada suara. Kita suka yang sepakat, yang setuju, yang menyenangkan. Tapi Mill mengingatkan: kadang yang menantang itulah yang menyelamatkan kita dari stagnasi.
Di sinilah pendidikan menemukan wajahnya yang paling manusiawi: sebagai latihan keberanian. Bukan keberanian melawan orang lain, tapi keberanian menghadapi diri sendiri, dengan semua bias, ketakutan, dan prasangka yang telah dibentuk oleh sejarah kita sendiri. Pendidikan adalah ruang di mana anak boleh berkata “tidak” pada kita, dan kita tidak tersinggung. Ruang di mana kesalahan bukan aib, tapi awal dari kebenaran yang lebih jujur.
Mill percaya pada pentingnya peran perempuan dalam pendidikan dan masyarakat. Ia mencintai Harriet Taylor, bukan hanya sebagai pasangan hidup, tapi sebagai mitra intelektual. Dalam surat-suratnya, kita bisa membaca cinta yang tidak sekadar romantik, melainkan rasional, egaliter, nyaris utopis. Ia menulis The Subjection of Women sebagai manifesto kebebasan yang tak boleh dimonopoli oleh jenis kelamin tertentu. Maka, pendidikan pun harus memerdekakan, bukan hanya bagi laki-laki, tapi juga bagi perempuan. Ia harus membebaskan dari belenggu norma dan dari peran yang telah dikodekan bahkan sebelum mereka dilahirkan.
Namun pendidikan, bagi Mill, juga tidak netral. Ia harus punya nilai. Bukan nilai dalam arti dogma, tapi komitmen: pada kebaikan bersama, pada keadilan, pada kebenaran. Ia menolak relativisme yang lesu. Ia percaya bahwa ada argumen yang lebih baik dari yang lain, dan bahwa lewat diskusi yang jujur, manusia bisa mendekati kebenaran. Maka, ruang kelas bukan hanya tempat transfer ilmu, tapi arena pertarungan ide.
Dan dari pertarungan itulah, kata Mill, lahir masyarakat yang sehat. Masyarakat yang tidak takut berbeda, tidak fobia pada ketidakpastian, dan tidak gemetar ketika anak-anaknya berkata, “Aku ingin berpikir sendiri.”
Kita hidup di zaman yang sering kali merasa terancam oleh pikiran bebas. Pendidikan diringkus oleh kurikulum yang lebih mencintai nilai ujian daripada nilai kemanusiaan. Anak-anak kita, alih-alih ditanya apa yang mereka pikirkan, lebih sering dituntut untuk menjawab seperti yang dimaui. Tapi Mill, dengan segala luka masa kecilnya, mengajarkan kita bahwa masa depan tidak bisa ditentukan oleh masa lalu yang dihafal, tapi oleh imajinasi yang berani menembus kemungkinan.
Mungkin suatu hari nanti, anak yang duduk di teras perpustakaan itu akan menjadi seseorang yang tak kita kenali, dalam arti terbaik dari kata itu. Ia mungkin menulis buku yang menggugurkan buku kita. Atau ia akan bertanya pada kita hal yang belum pernah kita pikirkan. Dan saat itu terjadi, kita harus bersukacita, bukan takut.
Karena pendidikan yang sejati adalah saat seorang guru dilampaui oleh muridnya.
Dan kebebasan, sebagaimana Mill pahami, bukan akhir. Ia adalah awal dari tanggung jawab yang lebih besar: menjadi manusia yang sadar, penuh empati, dan terus belajar.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar