Belajar Pergi, Bertemu, dan Membuat
Di sebuah pagi yang mungkin biasa bagi banyak orang, sekelompok anak berjalan keluar dari gerbang sekolah mereka. Mereka tidak duduk di balik bangku, tidak menatap papan tulis. Mereka melangkah ke jalan, menatap pepohonan, berbicara dengan orang-orang yang barangkali selama ini hanya mereka lewati tanpa sapa. Mereka sedang belajar, bukan dari buku, bukan dari teori, tapi dari dunia yang nyata. Dan barangkali, dari situlah pendidikan seharusnya bermula: dari keberanian untuk pergi, untuk bertemu, dan untuk membuat.
Pendidikan, seringkali, seperti kotak kaca. Kita memerangkap anak-anak di dalamnya. Kita berikan mereka kurikulum yang rapi, disusun dalam tabel-tabel, dilapisi logika ujian. Tapi di luar kotak itu, dunia terus bergerak. Orang-orang hidup dengan kisah mereka yang rumit. Jalanan membawa debu dan cerita. Udara membawa percakapan yang tak tercatat di buku teks. Mungkin, kita terlalu lama membiarkan anak-anak hidup dalam kotak itu.
David Leat dan rekan-rekannya menyebutnya Community Curriculum Making, sebuah ajakan untuk membongkar dinding sekolah, membiarkan pembelajaran mengalir bersama kehidupan. Bukan sekadar proyek. Bukan sekadar metode. Ia adalah sebuah cara memandang: bahwa belajar bukan tentang menjejalkan pengetahuan, tetapi tentang berkelindan dengan komunitas, dengan dunia sekitar, dengan denyut hidup yang sesungguhnya.
Saya teringat sebuah cerita kecil: seorang bocah di sudut kota yang jarang bicara di kelas. Suatu hari ia membawa kamera, diajak berkeliling lingkungan sekolahnya. Ia memotret tembok yang retak, pintu yang berkarat, dan wajah-wajah yang selama ini luput dari perhatian. Dalam diamnya, ia menambatkan kisah bahwa sekolah bukan satu-satunya tempat belajar, dan bahwa suaranya bisa bersinar lewat lensa.
Pendidikan yang berorientasi komunitas bukan tanpa tantangan. Dalam dunia yang terpesona oleh angka, peringkat, dan pengukuran, model ini terdengar seperti nyanyian dari lorong yang sepi. Kita tahu, ada guru-guru yang ragu: bagaimana mungkin kita memenuhi tuntutan kurikulum nasional jika waktu dihabiskan di luar kelas? Bagaimana menilai pembelajaran yang tak punya pilihan ganda? Tetapi barangkali, itulah justru yang perlu kita pertanyakan: apakah nilai ujian adalah satu-satunya cermin kecerdasan? Apakah pembelajaran hanya sah jika terukur dengan angka?
Ada keindahan dalam pendidikan yang memberi ruang bagi kegagalan, keraguan, dan kebingungan. Seperti seorang anak yang berbicara dengan seorang nenek yang tak pernah ia kenal, lalu menemukan bahwa kehangatan bisa lahir dari percakapan sederhana. Seperti siswa yang membuat pameran foto, dan melihat matanya sendiri berkilau dalam kebanggaan yang tak tertulis di rapor.
Pendidikan semacam ini menghidupkan apa yang mungkin telah lama mati: rasa ingin tahu yang murni, empati yang tumbuh dari pertemuan, dan kegembiraan membuat sesuatu yang bermakna. Ia bukan tentang menghafal, melainkan tentang merasakan. Ia bukan tentang mengerjakan tugas, melainkan tentang menemukan diri di tengah komunitas.
Tentu, kita tak harus meninggalkan kurikulum. Tetapi mungkin, kita harus bertanya kembali: kurikulum untuk siapa? Untuk sekolah? Untuk pemerintah? Atau untuk anak-anak yang sedang mencari tempatnya di dunia ini? Community Curriculum Making mengajak kita untuk melihat bahwa sekolah bukan menara gading, tetapi jembatan. Dan tugas kita adalah membangun jembatan itu dengan keberanian, dengan kerendahan hati, dan dengan cinta.
Kadang, saya membayangkan: bagaimana jika setiap anak diberi kesempatan untuk melihat dunia, bukan dari halaman buku, tetapi dari lorong pasar, dari pantai yang berangin, dari panggung teater di sudut kota? Bagaimana jika pendidikan adalah kisah mereka sendiri, tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi, orang-orang yang mereka ajak bicara, dan sesuatu yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri?
Mungkin, saat itulah sekolah menjadi hidup. Dan mungkin, saat itulah anak-anak tidak lagi merasa terpenjara di ruang kelas, tetapi justru menemukan dunia yang luas dan barangkali menemukan diri mereka sendiri.
Sumber baca:
Community Curriculum Making.
Posting Komentar