ZMedia Purwodadi

Belajar Menjadi Manusia

Daftar Isi

Di sebuah ruang kelas di Hong Kong, anak-anak duduk membungkuk di hadapan layar. Mereka mengetikkan pertanyaan pada sebuah entitas yang tak bernyawa, lalu menunggu jawaban yang datang dari ujung jaringan tanpa batas. Di ruang sunyi itu, mesin dan manusia bertukar kalimat. Tapi, apakah benar mereka sedang berbicara? Ataukah mereka hanya sedang menulis ulang diri mereka sendiri di hadapan bayangan yang mampu menjawab dengan cepat?

Barangkali pendidikan selalu tentang ini: sebuah upaya untuk bertanya. Kita mengira bahwa belajar adalah mengingat, memahami, menghafal. Padahal, seperti yang diungkapkan oleh Bloom bertahun-tahun lalu, belajar yang sejati justru dimulai ketika kita bertanya. Dan dari bertanya, kita menggali: mengevaluasi, mencipta, membangun makna. Dalam lingkaran yang tak pernah usai itu, manusia menemukan dirinya.


Namun kini, ketika kecerdasan buatan menjadi kawan belajar, apakah kita masih tahu bagaimana bertanya?

Emily Hui Sein Yue Elim, dalam studinya, seakan mengingatkan kita pada sebuah kegelisahan: bagaimana anak-anak, dengan antusiasnya, mampu mencipta dan mengevaluasi dalam percakapan dengan AI, namun kerap gagal dalam satu hal sederhana, yaitu menerapkan. Mereka mampu membuat, mereka mampu menilai, tetapi mereka gamang ketika harus membawa jawaban itu ke kehidupan yang lebih luas.

Di sinilah mungkin letak kegetiran kecil itu: teknologi menjawab, tetapi apakah ia mengajarkan kita untuk hidup?

Saya teringat pada sebuah peristiwa kecil di masa kanak-kanak. Guru saya pernah meminta kami untuk bertanya tentang hal yang kami tidak pahami. Saya, dengan polosnya, menanyakan mengapa daun yang jatuh tak pernah kembali ke dahannya. Pertanyaan sederhana itu membuat guru saya terdiam sejenak. Ia tak langsung menjelaskan tentang gravitasi atau siklus kehidupan. Ia hanya berkata, "Bagus, teruskan bertanya. Karena mungkin hidup kita adalah daun yang jatuh, dan pertanyaan-pertanyaan kita adalah angin yang membawanya ke tempat-tempat baru."

Hari ini, saya bertanya-tanya: apakah AI mengerti makna dari daun yang jatuh?

Dalam penelitian Elim, saya menemukan bahwa yang paling sering muncul dalam percakapan anak-anak dengan AI adalah ciptaan dan evaluasi. Mereka senang menciptakan pertanyaan, senang menilai jawaban. Mereka ingin bermain dengan ide. Tetapi kemampuan untuk menerapkan jawaban itu ke dunia nyata, ke kehidupan, ke persoalan lain, ke ruang di luar layar, masih lemah.

Mungkin inilah batas dari belajar yang terlalu nyaman dengan mesin: kita mahir bermain di ruang maya, tetapi seringkali canggung ketika harus membawanya ke tanah tempat kaki kita berpijak.

Ada satu bagian yang menarik: anak-anak itu belajar untuk merefleksikan. Mereka tidak hanya menerima jawaban, mereka menimbang, bertanya kembali, dan mengulang proses itu hingga mereka puas. Lingkaran bertanya dan merenung ini menjadi semacam tarian yang mempesona. Sebuah bukti bahwa, bahkan dalam dialog dengan mesin, manusia tetap mencari kehadiran dirinya sendiri.

Namun apakah mesin mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah manusia dengan rasa ingin tahu yang tak sepenuhnya rasional?

Barangkali ini adalah paradoks dari pendidikan masa kini: kita menginginkan siswa berpikir kritis, tetapi kita menyodorkan jawaban yang instan. Kita mendorong mereka bertanya, tetapi kita mengandalkan mesin yang dirancang untuk menjawab secepat mungkin. Kita lupa, barangkali, bahwa keindahan bertanya justru terletak pada jeda. Pada ruang kosong di mana manusia merenung, ragu, dan mungkin menemukan dirinya.

Bloom pernah merancang sebuah peta perjalanan kognitif: dari mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, hingga mencipta. Namun, dalam percakapan manusia dan mesin, peta itu kadang terputus. Kita melompat dari penciptaan ke evaluasi, seakan tergesa menaklukkan langkah tertinggi, dan melupakan tanah di mana kita seharusnya menjejak: penerapan.

Mungkin, seperti daun yang jatuh, kita perlu membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu mengendap, terbawa angin, menemukan tempat di mana ia bisa tumbuh menjadi pohon baru. Tidak semua harus segera dijawab. Tidak semua harus lekas selesai.

Dan mungkin, dalam belajar bersama AI, kita juga harus mengajari diri kita sendiri untuk sesekali berhenti. Untuk menyimpan pertanyaan, bukan untuk mematikannya. Untuk mendengarkan hening, bukan hanya mengejar gema jawaban.

Karena pada akhirnya, pendidikan bukan tentang mesin yang dapat menjawab, tetapi tentang manusia yang berani bertanya.


Sumber baca:

Posting Komentar