Bayangan Kepemimpinan yang Luka
Di sebuah sekolah yang sepi, di sebuah kota yang mungkin tak akan Anda kunjungi, seorang guru berjalan perlahan melewati lorong-lorong kelas. Di balik langkahnya, ada cerita yang tidak tertulis di papan tulis. Cerita tentang luka yang tak kasatmata, tentang pemimpin yang berdiri di depan, namun menyisakan jejak kehancuran di belakang.
Kita sering membayangkan kepemimpinan seperti matahari yang memancar: memberi cahaya, memberi arah. Tetapi jarang kita menengok sisi yang gelap dari matahari itu, ketika cahayanya membakar, ketika kehangatannya menjadi luka.
Kepemimpinan yang destruktif, begitu namanya. Bukan karena ia tidak tahu, melainkan karena ia memilih untuk melukai. Bukan karena ia tak berdaya, melainkan karena ia mengutamakan dirinya sendiri di atas segalanya. Dan anehnya, dalam banyak kasus, luka itu tumbuh bukan hanya dari pemimpin, tetapi dari kita yang diam, yang patuh, yang membiarkan.
Seperti dalam dongeng lama: monster itu lahir bukan dari kekuatan, tetapi dari ketakutan kita sendiri untuk melawannya.
Ada yang mungkin bertanya: mengapa guru-guru itu tetap tinggal? Mengapa mereka tidak melawan?
Barangkali, seperti seorang anak yang terus kembali ke rumah yang memukulnya, mereka percaya di sanalah satu-satunya tempat yang mereka kenal. Barangkali, dalam senyap mereka telah menyerah pada logika dunia, bahwa melawan kadang lebih berbahaya daripada bertahan dalam luka.
Penelitian ini berkata, pemimpinlah yang paling besar menyumbang pada suburnya kepemimpinan destruktif. Namun, lingkungan dan pengikut yang diam menjadi tanah dan air bagi racun itu untuk bertunas. Kita membayangkan kepemimpinan seperti pohon, tetapi lupa bahwa pohon pun bergantung pada tanah tempat ia berdiri. Jika tanahnya busuk, pohonnya pun tumbuh miring.
Di satu sekolah, seorang kepala sekolah mengambil uang dan menghilang. Barangkali ia pergi meninggalkan bangunan itu, tapi ia tak pernah benar-benar pergi dari ingatan orang-orang yang ia sakiti. Dalam sunyi, perilakunya menjadi warisan. Warisan yang tidak dibicarakan dalam rapat, tapi mengendap di cara orang memandang jabatan. Barangkali, jabatan di sana bukan lagi ruang pengabdian, melainkan tangga yang harus dipanjat secepat mungkin sebelum jatuh digantikan yang lain.
Dalam elegi yang samar, kita melihat bahwa kerusakan itu bukan semata-mata kesalahan satu orang. Ia adalah jaringan yang halus, seperti anyaman laba-laba yang tak terlihat, yang menjerat semua: pemimpin, pengikut, dan bahkan mereka yang hanya ingin mengajar dengan damai.
Kadang, saya berpikir, mungkin yang menghancurkan sebuah sekolah bukanlah kekurangan dana atau keterbatasan fasilitas, melainkan ketidakmampuan kita menghadapi sisi gelap dalam diri kita sendiri. Bahwa kita terlalu sibuk menulis buku tentang kepemimpinan yang ideal, tapi enggan menyentuh bab tentang kepemimpinan yang melukai. Seperti memilih untuk menyalakan lilin, tapi takut menatap bayangan yang tercipta di tembok.
Ada seorang guru yang memutuskan pergi. Bukan karena ia lemah, tetapi karena ia tahu bahwa diam adalah bentuk lain dari menyetujui. Tapi berapa banyak yang memilih tinggal, menunduk, dan mengajar sambil perlahan kehilangan cintanya pada ruang kelas?
Di Ethiopia, di Indonesia, di manapun, mungkin kepemimpinan seperti ini tidak asing. Yang membedakan hanyalah siapa yang berani mengucapkannya dan siapa yang memilih membiarkannya menjadi rahasia bersama.
Barangkali, yang harus kita ingat bukanlah statistiknya. Bukan angka-angka tentang persentase. Bukan peta korelasi antara perilaku pemimpin dan niat pengikut untuk pergi. Yang harus kita ingat adalah seorang guru yang pulang setiap sore dengan dada yang sesak, yang mengajar dengan suara yang perlahan memudar, yang mungkin suatu hari memilih berhenti bukan karena ia tak mampu, tetapi karena ia lelah mencintai sesuatu yang terus melukainya.
Dan di akhir hari, kita pun bertanya: dalam diri kita, pemimpin seperti apa yang kita pelihara? Apakah kita berdiri dalam cahaya, ataukah tanpa sadar kita sudah menjadi bagian dari bayangan itu?.
Posting Komentar