ZMedia Purwodadi

Bayang-Bayang Dunia yang Berubah

Daftar Isi

Di suatu pagi musim gugur, ketika embun belum kering dari pucuk daun maple, seorang anak kecil di Stockholm bertanya pada ibunya: “Apakah dunia selalu berubah secepat ini?” Ibunya diam. Angin membawa pertanyaan itu pergi, menyelinap ke jendela seorang lelaki bernama Torsten Husén, yang barangkali, selama hidupnya, mencoba menjawabnya dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh seorang pendidik, dengan merancang masa depan dalam struktur-struktur pendidikan.

Torsten Husén hidup dalam riuh zaman yang menjanjikan dan mengancam. Dunia pascaperang, dunia integrasi Eropa, dunia komputasi yang perlahan menggeser pemahaman manusia tentang pengetahuan. Ia melihat pendidikan bukan sebagai taman yang terisolasi dari kekacauan dunia, melainkan sebagai jembatan yang rapuh namun penting antara masa lalu yang ingin dilestarikan dan masa depan yang belum tentu jinak.

Ia bukan penyair, tetapi dalam cara ia berpikir, ada irama. Ia bukan pelukis, tetapi ia melihat masyarakat sebagai kanvas yang tak pernah selesai, dan pendidikan adalah kuas yang harus digunakan dengan bijak.


Ada kegelisahan yang khas dalam gagasan Husén; sejenis kesadaran akan dunia yang terlalu cepat bergerak, sementara institusi pendidikan sering kali lamban seperti kereta tua di jalur berkarat. Ia percaya bahwa sistem sekolah tidak bisa hanya mewarisi bentuk-bentuk lama dari abad ke-19; bahwa pembelajaran harus melampaui dinding kelas dan mencerminkan dunia nyata yang kompleks dan berubah-ubah.

Ia percaya pada perencanaan pendidikan, sebuah frasa yang terdengar teknokratis, bahkan birokratis. Namun di tangan Husén, ia berubah menjadi metafora besar tentang tanggung jawab. Perencanaan pendidikan bukan sekadar membuat kurikulum atau memperbanyak bangku sekolah. Bagi Husén, itu adalah cara untuk menjaga agar dunia yang bergerak liar ini tetap bisa ditafsirkan, dihayati, dan mungkin, dikendalikan sedikit saja oleh generasi yang akan datang.

Ia seperti tukang kebun yang tahu bahwa badai akan datang, dan ia tak bisa mencegah hujan, tetapi bisa menanam pohon dengan akar yang kuat.

Dalam satu titik renungannya, Husén berbicara tentang pentingnya pendidikan komparatif, gagasan bahwa kita tak bisa memahami sistem pendidikan sendiri tanpa melihat bagaimana orang lain mendidik anak-anak mereka. Ia mengajak kita untuk melihat ke seberang batas, ke negara-negara lain, bukan untuk meniru, melainkan untuk memahami apa yang mungkin.

Membaca Husén seperti mendengar lonceng yang mengingatkan kita bahwa nasionalisme sempit tidak cukup untuk menjawab tantangan global. Dunia tidak lagi terpecah oleh batas-batas negara, melainkan oleh ketimpangan informasi, akses, dan kesempatan.

Yang paling menggetarkan dari pemikirannya adalah keteguhannya untuk tetap ilmiah dalam dunia pendidikan tanpa kehilangan nuansa kemanusiaan. Di sini kita melihat percikan paradoks. Ia percaya pada data, survei, pengukuran, pada kuantifikasi. Tetapi juga sadar bahwa manusia tidak bisa direduksi menjadi angka.

Ia adalah penggagas studi internasional seperti IEA dan PISA. Namun di balik tabel dan grafik itu, ia melihat wajah-wajah: seorang anak di Brasil yang membaca dalam cahaya lilin, seorang guru di Ghana yang menulis di papan tulis reyot, seorang remaja Swedia yang tak tahu mengapa ia harus belajar sejarah.

Dalam dunia yang semakin diukur ini, Husén mengingatkan: jangan lupakan bahwa setiap data berasal dari kehidupan nyata yang bisa terluka, berharap, mencinta, dan kecewa.

Suatu hari, mungkin di sore yang diam, Husén barangkali duduk di sebuah perpustakaan, memandangi rak-rak penuh buku, lalu bertanya dalam hati: “Apakah pendidikan benar-benar bisa mengejar perubahan dunia?” Jawaban yang ia beri bukan ya atau tidak, melainkan sebuah jalan tengah yang bijak. Bahwa pendidikan tidak harus menjadi pengejar yang sempurna, tetapi setidaknya ia harus tetap berlari. Dan dalam pelariannya, ia harus tetap memegang kompas etika dan tujuan sosial.

Ia menyebut pendidikan seumur hidup sebagai kunci dari masa depan yang tak pasti. Bukan sekolah yang selesai di usia 18 atau 22. Tapi pembelajaran yang terus berdenyut dalam hidup, seperti detak jantung. Sebuah pembelajaran yang tidak mengenal usia, tidak takut pada perubahan, tidak asing terhadap dunia digital, dan tidak menolak hikmah dari masa lalu.

Husén bukan tokoh yang meledak-ledak. Ia seperti danau tenang di utara Swedia; tidak ramai, tapi dalam. Ia berbicara dengan nada ilmiah, tetapi di balik kerangka logikanya, ada hati yang lembut untuk kemanusiaan.

Ia percaya bahwa sistem bisa dibangun, kurikulum bisa diperbarui, dan pembelajaran bisa dievaluasi. Tapi lebih dari itu, ia tahu: jika anak-anak tidak dilihat sebagai manusia seutuhnya, semua perencanaan hanya akan menjadi kertas-kertas yang menua di laci kementerian.

Hari ini, kita hidup di dunia yang ia khawatirkan. Serba cepat, serba digital, dan sering kali kehilangan makna. Tapi warisan Husén adalah pengingat bahwa pendidikan bukan sekadar cara untuk menghasilkan pekerja yang efisien, melainkan sarana untuk membentuk warga dunia yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan tanggung jawab.

Dan mungkin, jika anak kecil itu bertanya lagi, “Apakah dunia selalu berubah secepat ini?” kita bisa menjawab: “Ya. Tetapi kita bisa mengajarkan cara untuk berdiri tegak di tengah pusaran itu.”

Karena di balik setiap perubahan, selalu ada ruang untuk berpikir. Dan pendidikan, pada akhirnya, adalah seni untuk membuat ruang itu tetap ada.


Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day

Posting Komentar