Antara Lonceng yang Tak Terburu-Buru
Di sebuah sekolah kecil di perbatasan Wina, aku pernah mendengar lonceng berbunyi seperti mendesak. Bukan sekadar tanda waktu. Tapi seperti alarm; tergesa, terburu, menggiring anak-anak ke baris, ke ruangan, ke barisan angka-angka. Aku ingat membayangkan: apa jadinya jika lonceng-lonceng itu justru mengajak untuk berhenti? Untuk duduk. Untuk menunda pelajaran, bukan memulainya.
Mungkin, Johann Friedrich Herbart akan memahami kegelisahan itu.
Ia adalah seorang filsuf yang mendekatkan pendidikan ke ranah psikologi, sebelum Freud dan Jung menjadikannya labirin. Bagi Herbart, mendidik bukan sekadar menyuapi ingatan, tapi mengolah jiwa. Pendidikan, katanya, adalah seni. Dan seperti seni lainnya, ia tak bisa dipaksakan, hanya bisa dituntun.
Sebuah cerita kecil: Seorang anak melihat seekor burung. Ia menyebutnya “burung”. Tak lebih. Tapi ketika guru mengaitkan burung itu dengan nyanyian yang ia dengar di pagi hari, dengan cerita tentang sarang dan musim, dengan lukisan yang pernah ia warnai; saat itulah, pengalaman itu menjadi bagian dari jiwanya. Itulah apperception: ketika pengalaman baru bertemu dengan yang lama dan membentuk pemahaman yang lebih dalam.
Bagi Herbart, pendidikan bukan soal apa yang masuk ke kepala, melainkan apa yang beresonansi dengan pengalaman terdahulu. Ia mengajarkan bahwa kita tak bisa memahami apa pun jika tak punya sesuatu sebelumnya untuk menampungnya.
Seperti hujan yang hanya bisa dikenang oleh tanah yang pernah basah.
Dan di sinilah Herbart berdiri tegak melawan sekolah yang berpikir seperti mesin. Ia menolak pendidikan yang melulu menyusun fakta, seperti menyusun batu bata tanpa tahu hendak membangun rumah atau benteng. Ia percaya pada formasi moral. Pada pendidikan sebagai proses menata kehendak.
Ia tak bermaksud mendoktrin, tapi menanam. Dan seperti seorang pekebun, ia tahu bahwa menanam bukan memaksa. Maka ia berbicara tentang pedagogical tact, kepekaan guru untuk tahu kapan bicara dan kapan diam, kapan menjelaskan dan kapan membiarkan pertanyaan bergema.
Dalam dunia kita yang serba tergesa, gagasan Herbart terasa seperti lampu kecil dalam senja yang panjang. Ia menyadarkan kita bahwa mendidik adalah membentuk jiwa yang kompleks dengan metode yang tak bisa disederhanakan. Ia merintis ide bahwa psikologi harus menjadi fondasi didaktik. Bahwa seorang guru, sebelum menyusun rencana pelajaran, harus terlebih dahulu menyelami jiwa murid.
Herbart menulis dalam bayang-bayang Kant, tapi juga membuka jalan bagi yang datang kemudian. Bagi Dewey, bahkan Montessori. Ia memandang pendidikan sebagai jembatan antara pengalaman dan moralitas. Dan bukankah dalam dunia yang kehilangan arah, kita butuh lebih banyak jembatan seperti itu?
Ia menyusun lima langkah dalam proses pembelajaran: preparation, presentation, association, generalization, dan application. Tapi jangan bayangkan sebagai urutan mekanis. Bayangkan sebagai tarian. Di mana setiap langkah mengalir dari yang sebelumnya, bukan dengan logika paksaan, tapi dengan gerak yang alami. Seperti anak kecil yang menyusun mainan berdasarkan rasa ingin tahu, bukan instruksi.
Ia ingin agar anak tidak sekadar tahu, tapi juga merasa. Tidak hanya mengenali, tapi juga menginternalisasi. Pendidikan, baginya, adalah formasi karakter. Bukan hanya transmisi informasi. Dan karakter itu tumbuh dari keterhubungan, bukan isolasi. Dari asosiasi, bukan atomisasi.
Di dunia Herbart, guru bukan tukang bicara. Ia pengatur resonansi. Ia menganyam makna.
Dan di sinilah, kadang kita kalah oleh Herbart. Kita sering terlalu cepat melompat ke hasil. Ke angka. Ke nilai. Kita lupa bahwa pendidikan adalah proses menata irama. Bukan hanya irama kelas, tapi irama batin.
Mungkin karena itu kita butuh mengingat Herbart. Mengingat bahwa belajar adalah memasukkan dunia ke dalam jiwa, bukan sekadar mencatatnya. Mengingat bahwa kehendak manusia, dan bukan sekadar intelek, adalah inti dari pengajaran sejati. Mengingat bahwa guru yang baik bukan yang paling tahu, tapi yang paling bisa menata jalan dari tahu menuju ingin.
Di akhir esainya, Herbart seperti menyiratkan bahwa pendidikan adalah seni yang selalu belum selesai. Tak ada rumus tunggal. Tak ada kebenaran final. Ada anak yang mengingat dunia lewat warna, ada yang lewat suara, ada yang lewat diam. Tugas kita bukan menyeragamkan jalan, tapi menumbuhkan pijakan.
Dan mungkin, yang paling penting, adalah membiarkan lonceng-lonceng itu berhenti mendesak. Biarkan mereka berbunyi perlahan. Sebab pendidikan yang terburu-buru hanya akan meninggalkan debu. Tapi pendidikan yang sabar akan menyisakan gema.
Seperti gema ide-ide Herbart hari ini.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar