Antara Jalan dan Tujuan
Pagi itu hujan turun perlahan, seperti seseorang yang sedang belajar memahami. Bukan memahami karena diminta, melainkan karena ada sesuatu dalam dirinya yang ingin menjadi; bukan hanya tahu, tetapi menjadi. Di bangku kayu yang usianya sudah tak muda, aku duduk sambil mengenang satu kalimat tua yang dulu kubaca di buku lawas: pendidikan bukanlah alat untuk tujuan lain, melainkan tujuan itu sendiri.
Richard Stanley Peters, seorang pemikir yang jarang membunyikan dentang dramatis dalam argumennya, justru menyentak dalam keheningan. Ia menyusun gagasan seperti seseorang merangkai batu pijakan di taman basah—hati-hati, namun teguh. Ia mengatakan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer informasi. Ia bukan kereta cepat menuju jabatan, bukan juga lorong instan menuju keterampilan teknis. Pendidikan, kata Peters, adalah sebuah cara menjadi manusia.
Kita hidup dalam zaman yang tergesa. Kita ingin anak-anak belajar cepat, selesai cepat, bekerja cepat, sukses cepat. Seakan hidup ini adalah perlombaan yang hadiahnya adalah pengakuan orang lain. Tapi Peters seolah mengajak kita menepi, untuk duduk dan bertanya, "Mengapa kita mendidik?" Bukan hanya "bagaimana", bukan hanya "apa", tetapi "mengapa".
Di mata Peters, pendidikan selalu bernuansa normatif. Ia tidak netral. Ia melibatkan penilaian tentang apa yang baik, apa yang patut, apa yang layak diajarkan. Maka, seorang guru bukan hanya penerus pengetahuan, tapi penjaga nilai. Seperti penjaga cahaya di mercusuar, ia tak sekadar menunjuk arah, tetapi menyelamatkan dari gelap.
Saya teringat pada anak kecil di ujung gang rumah saya. Ia duduk di atas becak ayahnya sambil membaca buku lusuh. Bukan buku pelajaran, bukan buku tuntunan sukses. Hanya kumpulan cerita rakyat. Ia membacanya berulang-ulang. Ketika saya bertanya kenapa, ia menjawab, “Karena di sini orang-orang bisa berubah jadi burung, dan yang jahat bisa menyesal.” Saya tersenyum. Peters akan senang mendengar itu. Pendidikan, bagi bocah itu, bukanlah alat untuk masuk kerja, tapi jendela untuk melihat dunia lain; yang lebih adil, lebih ajaib, lebih manusiawi.
Dalam teorinya, Peters menggarisbawahi bahwa pendidikan bukanlah sekadar proses kausal. Kita tidak bisa mengandaikan bahwa karena seseorang telah menjalani sejumlah pelajaran, maka ia telah terdidik. Pendidikan bukan seperti menyalakan saklar lampu. Ia lebih seperti menyiram benih yang kita tak tahu kapan tumbuhnya. Kadang ia tumbuh dalam diam, kadang ia tak pernah tumbuh. Tapi tetap kita siram, karena di situlah kehormatan sebagai pendidik berada.
Peters menyebut bahwa ada tiga kriteria utama dalam pendidikan: keterlibatan kognitif yang serius, transmisi pengetahuan yang bernilai, dan transformasi dalam pribadi peserta didik. Tanpa ketiganya, proses itu hanya menjadi semacam indoktrinasi atau pelatihan semata. Maka, pendidikan sejati selalu melibatkan kehendak, bukan sekadar keterampilan. Ia menuntut pemahaman, bukan hafalan.
Dan dalam pemahaman itulah, pendidikan menyentuh inti kemanusiaan kita. Seseorang yang terdidik adalah ia yang mampu menilai dunia dengan mata batin, bukan sekadar statistik. Ia bisa melihat ketidakadilan bukan karena diajarkan teori Marx, tetapi karena ia merasakan nyeri di dada saat melihat seseorang dipinggirkan. Ia bisa menangkap keindahan dalam sajak Sapardi bukan karena tahu majasnya, tetapi karena ia pernah mencintai dan kehilangan.
Peters barangkali tidak pernah menulis puisi, tapi pikirannya bergerak seperti puisi yang halus. Ia menolak pendidikan yang manipulatif; yang menjadikan manusia alat untuk rencana politik atau ekonomi. Ia percaya bahwa pendidikan harus bebas dari kepentingan eksternal yang mengerdilkan tujuan intrinsiknya. Dalam dunia yang kian mengukur manusia dengan angka, Peters mengingatkan bahwa manusia bukan statistik, melainkan makhluk bermakna.
Saya jadi ingat ibuku. Ia tak pernah kuliah. Tapi ia selalu berkata, “Sekolah itu bukan untuk cari uang, tapi supaya kamu tidak menyakiti orang lain.” Waktu kecil saya menganggap itu nasihat aneh. Tapi kini saya tahu: itulah esensi pendidikan dalam wajah paling manusiawi.
Peters tidak naif. Ia tahu bahwa dunia membutuhkan teknisi, ekonom, dokter. Tapi ia ingin semua profesi itu lahir dari manusia yang memahami nilai, bukan sekadar kompetensi. Bahwa dokter yang hanya tahu mengoperasi, tapi tak peduli pada derita, belumlah sepenuhnya terdidik. Bahwa pemimpin yang cerdas tapi tak adil, adalah kegagalan pendidikan paling besar.
Ia menempatkan pendidikan sebagai pengalaman moral. Dan dalam pengalaman itu, seseorang berubah. Bukan hanya tahu lebih banyak, tetapi menjadi lebih bijak. Dalam kata-katanya sendiri, seseorang yang telah terdidik adalah ia yang "melihat dunia secara berbeda, berpikir secara lebih tajam, dan merasakan tanggung jawab dalam hidupnya."
Saya menutup buku itu perlahan. Di luar, hujan masih turun. Tapi kini ia tak terdengar seperti derai biasa. Ia seperti suara lembut yang mengingatkan, bahwa menjadi manusia bukan soal gelar atau gaji, tapi soal cara melihat dunia dan memilih untuk tetap peduli.
Pendidikan, kata Peters, bukan tangga menuju kekuasaan. Ia adalah perjalanan menjadi. Menjadi lebih sadar. Menjadi lebih utuh. Menjadi lebih manusia.
Dan bukankah itu satu-satunya perjalanan yang layak ditempuh?.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar