Anak-anak yang Tak Lagi Berjalan Pulang
Di suatu sore yang mendung, saya melihat seorang anak kecil duduk di belakang meja sebuah pusat les di ujung jalan komersial. Di luar, etalase toko-toko memajang roti tawar, sabun pencuci, dan diskon sepatu. Di dalam, anak itu menggenggam pensil dengan kaku, menyalin baris-baris angka dalam hening yang dikurung jam.
Matahari belum tenggelam, tapi barangkali waktu bermain sudah padam.
Anak itu bukan satu-satunya. Di seluruh penjuru kota besar seperti London, dan mungkin juga Jakarta, Hanoi, atau Nairobi, telah tumbuh lanskap baru pendidikan: pusat-pusat bimbingan belajar yang kini menetap di tengah denyut ekonomi, menempel erat di dinding-dinding kota seperti bayangan yang perlahan-lahan menjadi tubuh. Mereka bukan lagi entitas sembunyi, tapi menjelma arsitektur sosial yang terang dan kasatmata. Mereka berdiri dengan papan nama berwarna cerah, diapit toko optik dan restoran cepat saji.
Apa yang membuat seorang anak berusia tujuh tahun duduk di dalam ruangan bergaris-garis poster edukatif itu, alih-alih berlarian di rerumputan? Mungkin ibunya bekerja hingga malam, dan tempat les menjadi ruang aman yang sekaligus mendidik. Atau mungkin, lebih pelik dari itu, mungkin ia tidak tertinggal, tapi takut tertinggal. Karena di dunia yang menjadikan angka sebagai peluit perlombaan, tak ada tempat untuk yang berjalan pelan.
"Catch up, keep up, or get ahead" adalah kata-kata yang kini menjadi semacam mantra dalam ibadah pendidikan. Mereka menggantikan dongeng sebelum tidur dan percakapan santai selepas makan malam. Anak-anak tak lagi berjalan pulang, mereka berpindah dari satu ruang pembelajaran ke ruang lain, dari satu aspirasi orang tua ke standar penilaian yang tak pernah benar-benar dimiliki anak itu sendiri.
Pusat-pusat les, menurut para peneliti itu, menjelma sebagai "klub sore hari" yang tak lagi menawarkan permainan, tetapi lembar kerja. Mereka menjual bukan sekadar pelajaran, tapi kelegaan: bagi orang tua yang merasa gagal menjelaskan PR, bagi anak yang merasa tidak cukup di kelas, bagi masyarakat yang telah menilai anak bukan dari kebaikan hati atau rasa ingin tahu, tapi dari skor.
Di kota, pelajaran berhenti menjadi ruang pertemuan antarmanusia dan berubah menjadi transaksi. Di pusat-pusat les di High Street, pendidikan dipajang bersama diskon. Bisa diakses lewat voucher, bisa diklaim dengan tax credit. Ini tampak seperti kemajuan, sebuah inklusi. Tapi seperti yang diingatkan para penulis, bahkan £200 sebulan bisa berarti sepertiga pendapatan rumah tangga. Akses tak selalu berarti adil.
Ada ironi dalam janji “aksesibilitas”: bahwa pendidikan kini dianggap bisa dan perlu dibeli. Bahwa bentuk bantuan adalah paket-paket belajar yang dijual di toko yang dulunya menjual susu dan sayur. Bahwa keberhasilan akademik kini bukan hanya hasil kerja keras seorang anak, tapi juga dompet dan strategi keluarganya.
Dan begitulah, bantuan pun menjadi beban. Dalam masyarakat yang ‘membebaskan’ orang tua untuk menjadi manajer pendidikan anak mereka, tanggung jawab bukan dibagi, tapi digeser. Bantuan tak lagi datang dari negara atau sekolah, tetapi dari sektor swasta yang berbicara dengan bahasa “tujuan”, “hasil”, dan “nilai tambah”. Anak menjadi proyek. Orang tua menjadi pengurus proyek itu.
Tapi di sela logika pasar, masih ada ruang-ruang kecil di mana cahaya jatuh lembut. Seorang tutor di pusat les kecil berkata, “Saya hanya ingin anak-anak itu merasa percaya diri. Pulang dengan bahagia.” Mungkin itu bentuk bantuan yang lebih jujur: bukan untuk melompat lebih tinggi, tapi sekadar agar anak itu berani berdiri dan berkata, “Saya bisa.”
Namun dunia bergerak ke arah lain. Bahkan bayi pun kini dipersiapkan untuk belajar membaca lewat flashcard. “Mengapa tidak melatih genggaman pensil sejak usia dua tahun?” kata salah satu pengelola pusat les. Begitu cepat kita lupa bahwa ada banyak hal indah yang tak bisa dibungkus sebagai pencapaian.
Di bawah langit London, di lorong-lorong yang dulu hanya diisi tawa dan sepeda anak-anak, kini berdiri bangunan yang menjanjikan masa depan. Tapi siapa yang mengingat masa kini? Siapa yang mengajarkan bahwa tidak semua kemajuan adalah gerak maju?
Mungkin suatu hari nanti, kita akan melihat kembali ke masa ini dan bertanya: di mana letak kanak-kanak dalam kota yang penuh guru bayangan ini?
Sebab ada yang lebih sunyi dari anak yang tak bisa menjawab soal matematika, yaitu anak yang tak lagi tahu bagaimana bermain.
Dan ada yang lebih penting dari membantu anak mencapai nilai tinggi, yaitu membantu mereka tetap menjadi anak-anak.
Posting Komentar