ZMedia Purwodadi

Anak-Anak dan Kepemimpinan

Daftar Isi

Sebuah pagi ketika seorang anak berdiri di sudut lapangan sekolah, memegang bola yang sedikit kempis. Ia menatap teman-temannya, ragu, seperti menimbang: apakah ia akan mengajak bermain ataukah ia menunggu untuk diajak? Dalam detik kecil itu, sebuah keputusan lahir, sebuah keputusan yang sederhana, namun di dalamnya tersembunyi benih dari sesuatu yang lebih besar: kepemimpinan.

Kita sering membayangkan pemimpin sebagai sosok dewasa yang bicara di atas panggung, memegang peta masa depan, menentukan arah ribuan orang. Namun, seperti kata mereka yang merenungkan pendidikan di sebuah sekolah internasional di Eropa Timur, benih kepemimpinan itu justru tumbuh dalam keseharian anak-anak. Di sela permainan, dalam tawa yang pecah di lapangan, atau dalam keheningan ketika seorang anak memilih untuk mendengarkan temannya.


Kepemimpinan, seperti pohon, tumbuh dari akar yang sangat kecil. Ia bukan tiba-tiba muncul ketika seseorang dewasa. Ia adalah keterampilan yang perlahan dilatih, disiram oleh kepercayaan, dan tumbuh dalam tanah yang subur bernama kesempatan.

Para guru di sekolah itu percaya, kepemimpinan bukanlah pelajaran yang ditempelkan di jadwal mingguan, bukan sekadar sesi singkat yang selesai dalam satu jam. Kepemimpinan, kata mereka, adalah sesuatu yang harus meresap dalam setiap napas pendidikan. Ia ada ketika seorang anak memimpin barisan ke kantin, ketika seorang siswa membuka pintu untuk teman-temannya, ketika seorang anak memberanikan diri mengutarakan pendapat dalam kelas. Ia tumbuh dalam hal-hal kecil yang sering tak kita beri nama.

Tetapi, seperti yang juga disadari oleh para guru itu, kita hidup dalam dunia yang kerap memberi makna besar pada hal yang gemerlap, pada hasil ujian, pada angka-angka yang dicetak tebal di atas kertas. Seringkali, orang dewasa, bahkan orang tua sendiri, tanpa sadar menarik anak-anak menjauh dari pengalaman memimpin demi mengejar nilai akademik yang kasat mata. Kita lupa bahwa di balik keberanian anak untuk mengambil keputusan sederhana, tersimpan keterampilan yang mungkin jauh lebih berharga daripada deretan angka: keberanian untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Barangkali, kepemimpinan sejati bukan tentang memimpin orang lain. Ia adalah tentang memimpin diri sendiri. Tentang bagaimana seorang anak belajar mengenali suaranya, mengenali keinginannya, lalu perlahan berani mempercayainya.

Para guru di sana menyebutnya student agency, kemampuan seorang anak untuk mengambil kepemilikan atas pembelajarannya, atas pilihannya, atas dirinya sendiri. Ini bukan sekadar membebaskan anak untuk memilih, tapi tentang membimbing mereka menemukan kekuatan yang selama ini tersembunyi dalam diri mereka sendiri.

Tapi kepemimpinan juga rapuh. Ia seperti burung kecil yang baru belajar terbang, ia bisa jatuh, ia bisa ragu, ia bisa terluka. Maka sekolah yang baik adalah sekolah yang memberi ruang untuk jatuh, memberi izin untuk salah. Seorang guru berkata, jika kita membesarkan anak-anak dalam lingkungan yang takut akan kesalahan, mereka tak akan pernah berani melangkah. Dan bila mereka tak pernah berani melangkah, bagaimana mungkin mereka akan menjadi pemimpin?

Kepemimpinan anak juga memerlukan cermin. Dan cermin terbaik adalah para guru dan pemimpin sekolah itu sendiri. Anak-anak belajar bukan dari pidato, tetapi dari teladan. Jika guru mencontohkan kasih, maka anak belajar memimpin dengan kasih. Jika guru mendengarkan dengan hati yang terbuka, maka anak pun belajar untuk mendengarkan sebelum berbicara. Kepemimpinan yang sejati, kata mereka, bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang menjadi manusia yang berani mengakui kesalahan dan belajar dari situ.

Dalam narasi para pendidik itu, saya mendengar gema tentang dunia yang mereka bayangkan: sebuah dunia yang dipimpin oleh orang-orang yang tahu bagaimana menjadi lembut dalam kekuatan, yang tahu bagaimana membangun daripada sekadar memerintah, yang berani mengambil risiko bukan untuk mengejar pujian, melainkan untuk membangun kebaikan bersama.

Mereka percaya, anak-anak mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar dari yang kita kira. Bahwa mereka bisa memimpin, bukan hanya di ruang kelas, tapi di komunitas, bahkan di rumah. Tapi untuk itu, kita, orang dewasa, perlu memberikan mereka kesempatan. Bukan hanya ruang untuk berbicara, tetapi juga ruang untuk didengarkan.

Di akhir, saya teringat anak kecil yang memegang bola kempis itu. Ia akhirnya mengajak temannya bermain. Ia tersenyum. Ia mengambil keputusan kecil yang mungkin tampak sepele, tetapi dari situlah semuanya bermula.

Karena barangkali, dunia tak berubah oleh pidato besar. Dunia berubah oleh keberanian-keberanian kecil yang dilakukan setiap hari, oleh anak-anak yang belajar memimpin mulai dari diri mereka sendiri.

Dan mungkin, di situlah kita semua seharusnya mulai.


Sumber baca:
Student leadership development within the primary years: perceptions of leaders and teachers in an Eastern European International School

Posting Komentar