ZMedia Purwodadi

Yang Tak Terlihat dari Papan Tulis

Daftar Isi

Di ruang kelas yang senyap selepas lonceng pulang berdentang, ada suara-suara yang tidak pernah terdengar. Bukan tawa anak-anak, bukan juga bunyi spidol yang berderak di atas whiteboard, melainkan suara tubuh yang lelah, suara hati yang lapuk oleh ketakberdayaan, dan suara kepala yang terus-menerus mengulang satu pertanyaan: “Apa aku masih cukup berarti?”

Guru, sebuah kata yang nyaris suci dalam kesadaran kita. Seperti lilin, kata pepatah lama, mereka membakar diri untuk menerangi orang lain. Tapi lilin, seperti kita tahu, memiliki sumbu. Dan sumbu itu, sekali habis, padam.

Di Skotlandia, tahun 2024, para peneliti mencatat denyut-denyut kesakitan yang perlahan tapi pasti menggerogoti para guru sekolah dasar. Bukan karena gaji semata, bukan pula karena kekurangan penghargaan. Tetapi karena sesuatu yang lebih halus, lebih dalam: intensifikasi kerja yang diam-diam menelan ruang hidup mereka.

Di luar kontrak resmi 35 jam per minggu, guru-guru itu bekerja rata-rata 46 jam. Angka yang, bila dipadatkan dalam kisah, berarti mereka membawa pulang kelas ke rumah. Markah ujian menggantikan perbincangan makan malam. Laporan insiden menggantikan waktu membaca untuk anak sendiri. Dan pikiran tentang murid-murid yang bermasalah menggantikan mimpi.

Papan tulis yang bersih setiap pagi menyembunyikan perang internal yang tak pernah selesai. Guru-guru kini tidak hanya mengajar, tapi juga menjadi penasihat, pekerja sosial, perancang pembelajaran diferensial, dan kadang "dengan getir" pengganti orangtua. Seperti kata seorang kepala sekolah, “Sekolah menjadi tempat untuk mengatasi kemiskinan, obesitas, bahkan terorisme.”

Apakah kita sungguh percaya, mereka sanggup memikul beban seberat itu dengan bahagia?

Para peneliti dari University of the West of Scotland menyusun potret dengan empat warna utama: dimensi kognitif, sosial, subjektif, serta fisik dan mental dari kesejahteraan guru. Di antara keempatnya, yang paling menyayat justru adalah yang tak terlihat: kehilangan rasa makna.


Ada satu istilah yang menggema dari penelitian ini: “moral distress”. Sebuah luka yang timbul bukan karena tidak tahu apa yang benar, melainkan karena tahu, namun tak bisa melakukannya. Sistem meminta mereka menjadi guru ideal, tetapi dengan tangan yang terikat dan suara yang dibungkam oleh kurikulum yang tidak luwes, data yang menuntut, dan sumber daya yang menyusut.

Yang ironis, dalam diam, mereka tetap mencoba. Mereka masih menyusun rencana pelajaran hingga larut malam, masih duduk bersama siswa yang menangis, masih mengajukan formulir demi dukungan yang kemungkinan besar akan ditolak. Mereka bertahan bukan karena kuat, melainkan karena mereka peduli. Dan kepedulian, dalam sistem yang tidak memberi ruang bernapas, bisa berubah menjadi luka.

Lalu bagaimana kita memahami kelelahan ini? Apakah ini hanya perihal manajemen waktu yang buruk, seperti tuduhan HR kepada seorang guru yang meminta tolong? Atau justru ini adalah jeritan sistem yang lupa bahwa manusia punya batas?

Saya teringat pada puisi Rilke tentang pekerjaan: “Yang penting bukan apa yang kita kerjakan, tetapi bagaimana pekerjaan itu memahat batin kita.” Dalam hal ini, sistem pendidikan bukan lagi pemahat yang membentuk, tetapi pemahat yang menghancurkan perlahan.

Mereka, para guru itu, pernah masuk ke dunia pendidikan dengan keyakinan bahwa mereka akan membuat perubahan. Tapi kini, banyak dari mereka merasa seperti penumpang dalam kapal yang terus bocor, berusaha menyendok air dengan tangan kosong, sementara kapten sibuk mencatat laporan cuaca.

Sekitar 80 persen dari mereka mengaku telah mempertimbangkan untuk meninggalkan profesi. Dan ketika seorang guru meninggalkan ruang kelas, bukan hanya pekerjaan yang hilang. Hilang pula sejarah hubungan manusia, kasih yang tumbuh antara pengajar dan pembelajar, dan mimpi anak-anak yang, entah bagaimana, sempat tumbuh di sela lelah mereka.

Esai ini bukan sekadar catatan kesedihan. Ini adalah ajakan untuk menyimak ulang apa makna kerja yang manusiawi. Barangkali, yang perlu kita benahi bukan guru-guru itu, melainkan cara kita memandang dan merancang sistem pendidikan itu sendiri. Bahwa guru bukan mesin produksi kurikulum, bukan juga pegawai data pemerintah. Mereka adalah manusia yang bekerja dengan hati, dan karenanya, butuh ruang untuk bernapas, untuk merasa, dan untuk menjadi utuh.

Mungkin suatu hari nanti, papan tulis tak hanya mencatat pelajaran bagi anak-anak, tapi juga kesaksian akan keberanian manusia yang memilih tetap tinggal meski tahu dirinya perlahan aus.

Karena di ujungnya, seperti kata penyair tua itu, “Manusia tidak mati karena kelelahan. Ia mati karena kehilangan makna.”


Sumber baca:

Posting Komentar