ZMedia Purwodadi

Tentang Kebahagiaan yang Tidak Seketika

Daftar Isi

Di sebuah sore yang tenang, seekor burung walet melintas, lalu lenyap di balik awan. Aristotle pernah mengingatkan: "Satu burung walet tidak membuat musim semi, sebagaimana satu hari tidak membuat kebahagiaan." Kalimat itu seperti embun di pagi buta, sederhana tapi meneteskan makna yang dalam. Kebahagiaan, bagi Aristotle, bukan kilatan sesaat, bukan seberkas tawa yang usai dalam sepersekian detik. Kebahagiaan adalah musim panjang, adalah hidup yang utuh, adalah perjalanan yang melintasi waktu dan keutuhannya hanya bisa diukur dari keseluruhan hayat.

Dalam kesendiriannya, Aristotle berbincang dengan dunia yang sering tergesa-gesa. Ia tak menulis untuk memukau, ia menulis untuk mengurai. Bahwa hidup bukanlah pencarian akan kenikmatan, melainkan pencarian akan arete, sebuah keunggulan batin, sebuah kecakapan untuk menjadi manusia yang tepat pada tujuannya. Jika Plato mengajak kita menatap dunia ide, Aristotle justru menuntun kita untuk menunduk, mengamati jejak-jejak realitas yang berderet di bumi ini.

Bagi Aristotle, pendidikan adalah jalan panjang untuk meraih keutuhan itu. Seorang anak lahir seperti lempung yang lentur, belum punya bentuk, belum punya wajah. Ia kosong, tetapi bukan tanpa potensi. Di sinilah pendidikan hadir, bukan sebagai palu yang memaksa, tetapi sebagai tangan yang membimbing, mengarahkan lempung itu pada bentuk terbaiknya. Ia percaya bahwa manusia belajar bukan dari hafalan, bukan dari ingatan yang dibebani, melainkan dari pengamatan, dari mata yang menyaksikan dunia, dari pengalaman yang perlahan terakumulasi menjadi pengetahuan.

Pendidikan, dalam bayangan Aristotle, bukan semata soal menjadi terampil. Ia bukan alat tukar menuju pekerjaan, bukan tiket masuk ke ranah sosial yang lebih tinggi. Pendidikan adalah proses menjadi manusia yang utuh, yang mampu berpikir, merasa, dan menimbang dengan akal yang matang. Ia mengkritik tajam pendidikan yang hanya mengejar tujuan-tujuan praktis. Pendidikan yang hanya mengantarkan orang pada pekerjaan adalah pendidikan yang melupakan jiwa. Barangkali inilah luka zaman kita: saat sekolah diburu oleh tuntutan ekonomi, ketika nilai sekadar angka, dan ketika belajar menjadi sekadar perintah untuk "menjadi berguna."


Aristotle menempatkan moral sebagai pusat dari pendidikan. Ia tidak percaya bahwa manusia lahir dengan kebajikan yang sudah siap. Ia percaya bahwa kebajikan dibentuk, dibiasakan, dilatih seperti seorang pemain musik yang mengulang-ulang not yang sama hingga menjadi harmoni. Seperti anak kecil yang diajari untuk jujur sebelum tahu mengapa ia harus jujur. Mereka meniru sebelum mengerti. Tetapi, kelak, seiring kedewasaan, pemahaman itu akan tumbuh. Moral bukanlah sekadar perilaku, melainkan pilihan sadar yang lahir dari pengetahuan dan karakter yang mapan.

Ada tiga syarat agar sebuah tindakan pantas disebut moral, kata Aristotle: dilakukan dengan pengetahuan, dipilih dengan kehendak bebas, dan lahir dari karakter yang telah terbentuk. Sebelum sampai ke sana, anak-anak bahkan orang dewasa mungkin masih berbuat baik karena takut, karena malu, atau karena ingin disukai. Tapi moral sejati menunggu di ujung, saat kita memilih kebaikan karena kita tahu dan karena kita ingin, bukan karena kita harus.

Saya teringat cerita kecil tentang seorang bocah yang mengembalikan dompet yang ditemukannya di jalan. Ia melakukannya karena ibunya mengajarinya sejak kecil: "Kalau menemukan milik orang, kembalikan." Mungkin hari itu si bocah belum paham sepenuhnya tentang keadilan atau tentang kepemilikan. Tapi tindakan kecil itu menjadi benih yang perlahan tumbuh menjadi kesadaran. Aristotle barangkali akan tersenyum. Moral, katanya, kadang memang harus dimulai dari kebiasaan yang sederhana.

Dalam labirin pemikiran Aristotle, kebahagiaan, eudaimonia, bukan sekadar perasaan senang. Ia adalah hidup yang baik, hidup yang selaras dengan tujuan manusia. Dan hidup yang baik itu, pada akhirnya, adalah hidup yang kontemplatif. Hidup yang berani berhenti, yang mau memikirkan makna, yang berani menimbang ulang ke mana kaki melangkah.

Kita sering tergesa. Kita didorong oleh target, oleh deadline, oleh suara-suara yang menuntut kita untuk terus maju. Tetapi dalam keramaian itu, mungkin Aristotle ingin mengajak kita untuk sejenak diam. Untuk memikirkan: untuk apa semua ini? Untuk siapa?

Aristotle yang mendirikan Lyceum dan membimbing Alexander mungkin tidak membayangkan bahwa di abad-abad setelahnya, manusia akan terjebak dalam pendidikan yang melupakan dirinya sendiri. Ia mengajarkan bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan yang membebaskan. Bukan membebaskan seperti semboyan kosong, melainkan membebaskan pikiran dari ketidaktahuan, membebaskan manusia untuk memahami dunianya.

Namun, pendidikan dalam bayangan Aristotle tidak selalu utopis. Ia lahir dari zamannya. Ia bicara tentang pendidikan untuk warga negara, untuk laki-laki Yunani merdeka, sementara perempuan dan budak dikecualikan. Barangkali di sini, sejarah menampar kita. Setiap pemikiran, secerah apapun, selalu membawa bayangan zamannya sendiri. Kita bisa menghargai gagasan besarnya, tapi kita juga perlu mengkritisi batas-batasnya.

Aristotle melihat negara sebagai pengatur pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan harus diarahkan untuk membentuk warga negara yang baik, yang tahu tugasnya dalam masyarakat. Ia menulis tentang seni musik, tentang olahraga, tentang bagaimana pendidikan seharusnya bertahap, dari latihan fisik dan karakter di masa kecil, menuju pendidikan publik, hingga mencapai pendidikan liberal, pembebasan pikiran yang menjadi tujuan tertinggi.

Ada keindahan dalam pemikiran itu. Pendidikan adalah perjalanan, bukan perlombaan. Ia bukan sekadar urusan anak-anak. Ia berlangsung seumur hidup, melampaui ruang kelas, melampaui ujian, melampaui ijazah. Dan yang tertinggi dari semuanya adalah theoria, kontemplasi, perenungan, pencarian makna yang tak berujung.

Dalam bayangan Aristotle, mungkin hidup adalah sebuah simfoni panjang. Setiap nada kecil, setiap pilihan sehari-hari, setiap kebiasaan yang berulang, semuanya membentuk melodi besar yang kelak akan kita sebut sebagai kebahagiaan. Dan seperti seekor burung walet yang terbang sendirian, satu tindakan baik saja belum cukup. Diperlukan perjalanan panjang, musim-musim yang penuh jatuh bangun, untuk menjadikan hidup kita benar-benar eudaimonia, hidup yang baik, hidup yang utuh.

Mungkin itulah pesan yang diam-diam Aristotle bisikkan kepada kita di tengah riuh dunia yang kian terburu-buru: jangan cari kebahagiaan yang seketika. Carilah hidup yang layak untuk dijalani sepenuhnya.


Referensi: Fifty Major Thinkers on Education

Posting Komentar