ZMedia Purwodadi

Suara yang Terlupakan

Daftar Isi

Di suatu pagi yang biasa, di kelas yang biasa pula, seorang anak mengangkat tangannya. Ia tak tahu apakah yang hendak ia katakan adalah benar atau salah, ia hanya merasa, ini perlu diucapkan. Di situ, dalam ruang kecil yang tak mewah, sebuah kebebasan kecil lahir.

Kita sering menyangka bahwa kebebasan itu besar, benderang, revolusioner. Padahal, kadang ia muncul dalam bisik yang jujur: “Menurutku, tidak selalu begitu...”

Begitulah filosofi anak-anak. Bukan filsafat dari Plato atau Kant, tapi dari mulut yang baru belajar mengenal dunia, berani mengajukan pertanyaan tanpa jaminan jawaban. Paper ini mengajak kita mendengar mereka: suara-suara kecil yang belajar berpikir, bukan untuk mengalahkan, tapi untuk memahami.

Dalam dialog filsafat untuk anak (P4C), kata Caroline Elbra-Ramsay, anak-anak menemukan ruang di mana tidak ada jawaban yang mutlak, tidak ada pemegang kebenaran tunggal. Di sanalah, suara bukan hanya didengar, tapi dianggap penting. Di sanalah, guru bukan lagi menara gading, tapi seorang penjelajah yang duduk melingkar, sejajar, bertanya bersama.

Di dunia yang dikekang logika pasar dan angka-angka capaian, pendidikan telah lama menjadi transaksi. Pengetahuan seperti uang: disimpan, ditabung, lalu diuangkan dalam ujian. Tapi anak-anak, seperti yang ditulis Elbra-Ramsay, tahu bahwa dunia lebih rumit dari benar-salah. Mereka tak bicara tentang nilai ujian, tapi tentang kebebasan berpikir dan di sinilah, kebebasan itu mulai terasa sebagai pengalaman, bukan ide.

Salah satu anak berkata, “Biasanya kita hanya berpikir di dalam kotak. Tapi saat filsafat, pikiranku mulai keluar.”

Kalimat yang terdengar sederhana itu, dalam cara lain mungkin akan ditulis ulang seperti ini: kebebasan adalah saat pikiran tahu bahwa dinding itu bisa digeser, bahkan hilang sama sekali. Anak-anak itu tak sedang diberi pelajaran tentang kebebasan, mereka mengalami kebebasan itu, sebagai sesuatu yang datang dari kemampuan untuk memilih kata, menyusun gagasan, dan menyadari bahwa suara mereka—ya, suara mereka—punya tempat.

Freire menyebut ini “pedagogi pembebasan”. Tapi mungkin, dalam nada yang lebih puitis, ini adalah cara anak-anak menemukan diri. Bukan melalui pengulangan hafalan, tapi melalui pertanyaan: “Apakah dunia harus seperti ini?” dan yang lebih penting: “Apakah aku bisa memikirkannya dengan caraku sendiri?”


Di kelas filsafat, struktur kekuasaan itu bergeser. Guru bukan penguasa, murid bukan penerima. Seorang anak berkata, “Dalam filsafat, tidak ada bos. Semua orang adalah pemimpin.” Kalimat itu menggetarkan. Karena di baliknya ada ide besar: demokrasi bukan hanya sistem, tapi kebiasaan berpikir, kebiasaan mendengar.

Ada pula anak lain yang berkata, “Aku merasa jadi diriku yang lebih dewasa.” Filosofi tidak membuat mereka lebih tahu, tapi membuat mereka lebih sadar. Mereka jadi seseorang yang melihat gurunya tidak hanya sebagai pemberi instruksi, tapi sesama manusia yang bisa diajak berdialog. Dan mereka melihat dirinya bukan sebagai objek pendidikan, tapi sebagai subjek yang punya suara.

Kita lupa, bahwa pendidikan sejatinya adalah seni mempercayai manusia. Bukan sekadar mendidik agar bisa bekerja, tapi agar bisa menjadi manusia seutuhnya yang berpikir, meragukan, dan mencinta.

Di zaman yang menyanjung efisiensi, filsafat mungkin terdengar lambat. Ia tidak menghasilkan produk. Tapi anak-anak itu menyukai kelambatan itu. Seorang dari mereka berkata, “Dalam filsafat, waktu terasa lebih lambat... lebih santai.” Bukankah justru di saat lambat kita benar-benar bisa berpikir?

Paper ini bukan sekadar laporan penelitian. Ia adalah kesaksian: bahwa dalam ruang kecil bernama “komunitas dialog”, anak-anak menemukan pengalaman yang tidak mereka temukan dalam pelajaran matematika atau sains, pengalaman menjadi setara.

Seperti kata pewarta dalam salah satu esainya, “kata yang tak selesai adalah ruang bagi yang lain untuk masuk.” Dan anak-anak ini, lewat filsafat, belajar bahwa ketidaksempurnaan jawaban bukanlah kelemahan, tapi kekuatan untuk terus bertanya.

Mungkin itu pelajaran terbesar: bahwa suara manusia, sekecil apapun, layak didengar. Bahwa dialog bukan milik mereka yang paling tahu, tapi mereka yang bersedia saling mendengarkan. Dan bahwa pendidikan sejati bukan mengisi pikiran, tapi membebaskannya.


Sumber baca: 

Posting Komentar