Sebuah Percakapan dengan Masa Lalu
Suatu pagi yang basah, aku duduk di tepi jendela, memandang hujan yang jatuh perlahan. Di sela-sela rintiknya, aku tiba-tiba teringat pada Plato. Filsuf yang seolah menulis dengan jarak yang jauh, tetapi nadanya masih menggema dalam ruang batin kita hari ini. Ia bukan sekadar sosok yang mengatur republik di langit ide, tetapi juga seorang pendidik yang gelisah. Ia bertanya: Bagaimana seharusnya manusia belajar menjadi manusia?
Plato percaya bahwa pendidikan bukan sekadar memasukkan pengetahuan ke dalam bejana kosong. Ia bukan menumpahkan fakta, bukan menjejalkan teori. Pendidikan, baginya, adalah membelokkan jiwa. Ia menyebutnya periagoge, pembalikan, sebuah perjalanan batin yang mengubah cara kita memandang dunia.
Bayangkan sebuah gua. Di sana, manusia-manusia duduk membelakangi pintu masuk, menatap bayang-bayang yang dipantulkan dinding. Bagi mereka, bayang-bayang itu adalah realitas. Mereka tidak tahu, di belakang mereka, ada cahaya. Plato mengajak kita keluar dari gua itu. Tetapi perjalanan keluar dari kegelapan menuju cahaya bukanlah peristiwa yang menyenangkan. Ia menyakitkan. Mata yang terbiasa pada gelap akan silau. Di sinilah pendidikan menemukan makna terdalamnya. Ia bukan membuat nyaman, melainkan justru mengusik. Pendidikan, dalam pandangan Plato, adalah perjalanan menyakitkan menuju kebenaran.
Namun, Plato juga tahu bahwa tidak semua orang mau atau mampu keluar dari gua. Dalam Republik-nya, ia menggambarkan dunia yang teratur, dunia di mana mereka yang memiliki jiwa paling terang, para Filsuf-Raja, adalah yang layak memimpin. Tentu, di zaman kita yang memuja kesetaraan, gagasan Plato bisa terasa getir. Ia seperti sisa-sisa masa lalu yang menyesakkan. Ia tampak membatasi, seolah pendidikan adalah hak eksklusif bagi mereka yang terpilih. Tetapi apakah ia benar-benar menutup pintu?
Plato tidak membenci rakyat jelata. Ia justru percaya bahwa setiap jiwa memiliki bagian ilahi yang bisa diarahkan menuju cahaya. Namun, ia juga yakin bahwa jalan menuju kebenaran bukanlah jalan yang bisa dilalui semua orang dengan langkah yang sama. Ada yang berhenti pada bayangan. Ada yang menempuh perjalanan panjang hingga mencapai ide kebaikan, puncak tertinggi pengenalan manusia.
Pendidikan, bagi Plato, dimulai dari musik dan sastra. Bukan sembarang seni, melainkan yang membentuk jiwa. Anak-anak harus tumbuh dalam kisah-kisah yang indah, yang mengajarkan keberanian, kebaikan, dan keharmonisan. Ia mencemaskan cerita-cerita yang menampilkan dewa-dewa yang bertengkar atau manusia yang kalah oleh nafsunya sendiri. Bagi Plato, cerita bukan hiburan belaka. Ia adalah cetakan jiwa. Di sini, ia seperti seorang ayah yang selektif, mengatur apa yang boleh dan tidak boleh masuk ke telinga anaknya. Mungkin kita yang hidup di zaman kebebasan radikal akan menolaknya. Tetapi tidakkah sesungguhnya kita pun hari ini, secara diam-diam, memilihkan cerita untuk anak-anak kita? Kita menyingkirkan yang kita anggap racun dan menyiapkan yang kita percaya menguatkan.
Namun, Plato, sebagaimana dicatat dalam Republik, juga menyisipkan keraguan. Ia tahu, bahkan di negara yang ideal, pendidikan bisa gagal. Jiwa yang tidak dipersiapkan sejak kecil bisa menolak cahaya, bisa memberontak, bahkan bisa jatuh pada tirani. Di sinilah Plato terdengar begitu manusiawi. Ia bukan pemahat masyarakat yang sempurna. Ia adalah seorang pencari yang tahu bahwa pendidikan adalah jalan yang selalu rapuh.
Dalam bayang Plato, aku melihat kegelisahan kita sendiri. Kita pun masih bertanya: apakah pendidikan hari ini membentuk manusia atau hanya melatih keterampilan? Apakah sekolah menuntun kita keluar dari gua atau justru membangun gua-gua baru dengan dinding yang lebih berkilap?
Plato mungkin akan tertegun melihat bagaimana hari ini pendidikan dirayakan sebagai kebebasan absolut. Ia mungkin tersenyum getir melihat bagaimana kita memuja pilihan individu, namun lupa menyiapkan jiwa yang matang untuk memilih. Ia mungkin akan bertanya: untuk apa semua pilihan itu, jika kita belum tahu apa yang benar-benar baik?
Saya membayangkan Plato duduk di sebuah ruang kelas zaman sekarang. Ia melihat anak-anak menatap layar yang berpendar, melompati tautan, melahap informasi yang tak pernah habis. Ia mungkin akan bertanya dengan polos, apakah mereka sudah menemukan yang sejati ataukah mereka hanya bermain dengan bayangan?
Dalam kesendiriannya, Plato menulis tentang perjalanan menuju kebaikan. Ia menulis tentang pendidikan sebagai jalan menuju kebijaksanaan, bukan hanya keterampilan. Ia mengajak kita untuk tidak berhenti pada yang tampak, tidak puas pada angka-angka dan gelar, tetapi untuk berani menembus lapisan terdalam, mencari makna, mencari kebenaran.
Dan ketika aku menutup bukunya, aku seperti mendengar bisikan. Perjalanan menuju kebenaran bukan jalan ramai. Ia adalah jalan yang sepi, pelan, dan sering kali dilupakan.
Mungkin itu sebabnya, hingga kini, kita masih berjalan. Terseok-seok keluar dari gua, membawa senter kecil di tangan, berharap bisa menemukan cahaya yang dulu disebut Plato sebagai ide kebaikan.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar