ZMedia Purwodadi

Renungan tentang Penilaian dalam Pembelajaran Multidisipliner

Daftar Isi

Di sebuah kelas kecil di utara dunia, seorang guru duduk di tepi meja, mengamati murid-muridnya yang larut dalam percakapan. Tidak ada papan tulis yang dipenuhi rumus, tidak ada barisan soal yang harus diselesaikan dalam hening. Yang ada hanya potongan-potongan realitas: cerita tentang ekosistem, angka-angka tentang perubahan iklim, dan sketsa kota masa depan yang belum lahir. Mereka menyebutnya pembelajaran multidisipliner, sebuah jalan yang mempersilakan ilmu untuk saling berpelukan.

Tapi di tengah-tengah percakapan itu, sang guru bergulat dengan pertanyaan yang lebih sunyi: bagaimana aku menilai semua ini?

Di Finlandia, sejak kurikulum 2014 mengubah peta pendidikan, penilaian tak lagi sekadar alat pengukur, melainkan sebuah percakapan yang hidup. Penilaian menjadi cermin, bukan palu. Namun, cermin macam apa yang mampu memantulkan keutuhan seorang anak, bukan hanya kemampuannya memecahkan soal, tetapi juga kemampuannya bertanya, bekerja sama, tersesat, dan menemukan jalan pulang?


Penilaian, barangkali, pernah dianggap seperti bayangan: mengikuti, tetapi tak perlu diperhatikan. Sebagian guru menyebutnya "beban yang harus dipikul," sebuah kewajiban administratif yang membatasi kreativitas. Penilaian dianggap pinggiran, hampir seperti bisikan yang bisa diabaikan. Tapi waktu bergerak, dan perlahan para guru mulai menemukan bahwa penilaian bisa menjadi kompas. Ia menuntun, bukan menghakimi.

Seorang guru berkata, "Penilaian itu seperti bertanya, ke mana kita sedang pergi?" Sebuah pertanyaan yang mungkin sederhana, namun menyimpan percikan filsafat. Mungkin penilaian yang sejati bukan tentang memberi angka, tetapi tentang menemukan arah, sebuah upaya bersama untuk memahami ke mana murid-murid itu sedang melangkah, dan apakah mereka menemukan makna dalam perjalanan mereka.

Dalam ruang belajar yang saling terhubung, penilaian berubah menjadi dialog. Guru bukan lagi hakim yang menjatuhkan vonis, melainkan penjelajah yang berjalan di samping muridnya. Mereka berhenti sejenak, duduk bersama, dan bertanya: "Apa yang telah kita pelajari? Apa yang kita temukan? Apa yang membuat kita ingin terus berjalan?"

Penilaian menjadi lentera kecil yang menyorotkan cahaya pada proses, bukan hasil akhir. Seperti seorang anak yang tiba-tiba tersenyum saat menyadari ia bisa menjelaskan sesuatu kepada temannya, bukan karena ia mendapatkan nilai seratus, melainkan karena ia menemukan keberanian untuk berbagi.

Dalam suasana seperti itu, kesalahan bukan dosa, melainkan bahan bakar untuk belajar. Guru dan murid belajar bersama, terkadang dalam kesepakatan, terkadang dalam perbedaan. Mereka menciptakan kriteria bersama, merancang perjalanan bersama, dan menilai diri mereka sendiri dengan jujur tanpa takut, tanpa topeng.

Ada yang bilang, penilaian yang baik membuat kompetensi menjadi terlihat. Tapi barangkali yang lebih penting adalah membuat potensi menjadi teraba. Potensi yang sering tersembunyi di balik suara kecil, di balik keraguan seorang anak yang takut salah. Ketika seorang guru berkata, "Lihat, kamu bisa melakukan ini," ia sedang menyalakan lilin kecil dalam hati muridnya.

Namun perjalanan ini tidak mudah. Guru-guru itu tahu bahwa menilai pembelajaran multidisipliner adalah seperti menjahit kain dari bahan yang berbeda. Tidak ada pola baku, tidak ada ukuran yang pasti. Mereka harus merancang alat ukur yang hidup, yang berubah bersama murid-murid mereka. Mereka harus menciptakan struktur yang lentur, sebuah penilaian yang tumbuh seiring pertumbuhan.

Penilaian menjadi proses yang dinamis: dibuat, diuji, diubah. Guru dan murid sama-sama membentuknya, seperti dua tangan yang bersama-sama menggambar peta. Tidak ada kejutan, tidak ada hukuman tersembunyi, karena setiap langkah telah dibicarakan bersama.

Dan barangkali di sinilah keindahan yang sering luput: penilaian tidak selalu harus menjadi akhir dari perjalanan. Ia bisa menjadi percakapan yang terus berlangsung, sebuah refleksi yang mengundang setiap orang untuk melihat ke dalam, bukan hanya ke luar.

Di ruang kelas yang seperti itu, seorang anak tidak lagi takut dinilai. Ia belajar menilai dirinya sendiri, bukan untuk mencari pujian, tapi untuk mencari pemahaman. Ia belajar bahwa belajar bukan perlombaan, melainkan petualangan yang kadang sunyi, kadang ramai, kadang menyesatkan, tapi selalu membuka jalan baru.

Mungkin, seperti yang diam-diam diajarkan oleh para guru di Finlandia, penilaian yang paling dalam bukanlah tentang siapa yang sampai duluan, melainkan tentang siapa yang berani berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan dengan jujur bertanya: "Apa yang telah aku pelajari dari perjalanan ini?".


Sumber baca:

Posting Komentar