Percakapan yang Tak Pernah Selesai
Sebuah cerita kecil yang barangkali tak pernah terjadi: Seorang anak duduk di tepi danau, memandangi riak air yang menjalar pelan, mengira ia mengerti bagaimana dunia bekerja. Tapi tiba-tiba ia bertanya kepada dirinya sendiri: "Apa artinya 'mengerti'?"
Pertanyaan itu, sederhana dan kecil, adalah pintu yang selalu terbuka dalam pemikiran Ludwig Wittgenstein. Ia adalah pengembara dalam bahasa, seorang yang tidak pernah menetap di satu makna, seorang yang membongkar keyakinan tentang kata-kata seperti orang yang membongkar rumahnya sendiri. Dan mungkin, memang itulah yang dilakukannya: membongkar rumah bahasa yang telah lama kita tempati, untuk menunjukkan bahwa kita selama ini tinggal di dalam dinding yang kita ciptakan sendiri.
Bagi Wittgenstein, bahasa adalah permainan. Bukan permainan dalam arti senda gurau, melainkan dalam arti yang serius: aturan, konteks, gerak, dan keterikatan sosial yang membentuk makna. Kita sering terjebak mengira bahwa kata-kata memiliki makna tetap, seperti paku yang tertancap pada tembok realitas. Namun Wittgenstein dengan lembut, tetapi tegas, menunjukkan bahwa kata-kata tak pernah hidup sendirian. Mereka mendapatkan makna dari bagaimana kita memainkannya, bagaimana kita menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Saya teringat pada cara anak-anak belajar berbicara. Mereka tidak mempelajari definisi; mereka meniru, mereka merasakan irama, mereka memahami lewat penggunaan. Ketika seorang anak mengatakan “air,” ia tidak sedang mendefinisikan senyawa H₂O. Ia sedang memanggil, menunjuk, meminta, atau mungkin sekadar bermain. Dan di sinilah Wittgenstein ingin kita merenung: makna tidak terletak dalam bayangan ideal, tetapi dalam tarian sehari-hari.
Di ruang kelas, gagasan Wittgenstein bergaung secara halus. Ia tidak menawarkan metode, tidak menawarkan resep pedagogis. Ia justru mengajak kita waspada terhadap kesalahpahaman yang terbungkus dalam kepercayaan bahwa bahasa adalah cermin realitas. Bagi Wittgenstein, pendidikan adalah membuka kesadaran bahwa memahami bukanlah menghafal definisi, melainkan menguasai permainan dalam konteksnya. Mungkin inilah mengapa dalam pendidikan, dialog lebih berharga daripada ceramah. Mungkin inilah mengapa pertanyaan lebih hidup daripada jawaban yang beku.
Tapi Wittgenstein juga membawa kita ke tepi kegelisahan. Jika makna bergantung pada konteks, pada kebiasaan, pada permainan sosial, bagaimana kita dapat berbicara tentang kebenaran yang tunggal? Di mana pijakan yang kokoh? Atau barangkali, kebenaran itu sendiri adalah apa yang “berfungsi” dalam permainan kita, dalam cara hidup kita.
Ia tidak sedang meruntuhkan segala makna; ia sedang mengingatkan bahwa makna itu rapuh, bahwa kesepakatan sosial adalah tanah tempat kata-kata kita berpijak. Dan dalam kesadaran itu, ada kerendahan hati. Bahwa kita tidak bisa memaksakan pengertian kita kepada orang lain dengan kekerasan definisi. Bahwa mengerti orang lain bukan tentang memenangkan debat, tetapi tentang memahami cara mereka memainkan kata.
Saya membayangkan Wittgenstein duduk sendirian di ruangnya, menulis kalimat-kalimat pendek yang mengalir seperti kerikil yang dilemparkan ke danau: sederhana, tapi memunculkan riak yang meluas. Ia tahu bahwa filsafat bukanlah bangunan megah, tetapi serangkaian percakapan kecil tentang bagaimana kita hidup bersama. Ia tahu bahwa banyak problem filosofis adalah simpul yang terjerat oleh cara kita berbicara. Dan mungkin tugas filsafat bukan untuk menemukan jawaban akhir, tetapi untuk mengurai simpul itu, untuk membebaskan pikiran kita dari belitan kata-kata yang salah arah.
Ada keindahan dalam sikap ini. Wittgenstein bukan pencari sistem besar. Ia lebih seperti tukang kebun yang dengan sabar memotong ranting-ranting yang kusut, membuka ruang agar kita dapat melihat dengan jernih. Ia tahu, seperti yang mungkin sering kita lupakan, bahwa yang paling dalam kadang tersembunyi dalam yang paling biasa.
Dalam pendidikan, pemikiran ini menjadi gema yang dalam. Bagaimana jika guru bukanlah penjaga kebenaran, melainkan penjaga ruang bermain? Bagaimana jika mengajar bukan tentang mentransfer makna, tetapi mengajak siswa menelusuri bagaimana makna itu terbentuk dalam hidup sehari-hari? Bagaimana jika kita semua, dalam belajar, sesungguhnya sedang belajar memainkan permainan baru?
Saya teringat pada seorang murid yang pernah berkata, “Saya tahu jawabannya, tapi saya tidak tahu apa maksudnya.” Mungkin di situlah Wittgenstein berdiri: di antara jawaban dan pengertian, di celah di mana kita mengucapkan kata-kata tetapi lupa bagaimana mereka hidup.
Wittgenstein mengajarkan saya bahwa kata “belajar” bukanlah benda yang dapat diserahkan dari tangan ke tangan. Ia adalah tindakan, adalah peristiwa, adalah bagian dari permainan hidup. Dan permainan itu tak pernah selesai.
Mungkin di situlah keindahannya. Bahwa percakapan yang baik adalah percakapan yang selalu terbuka. Bahwa kita tidak perlu takut jika kata-kata melarikan diri dari genggaman kita, karena barangkali di situlah mereka hidup: dalam kelincahan, dalam gerak, dalam keberanian untuk tidak memaksa makna.
Di tepi danau itu, anak kecil itu akhirnya tersenyum. Ia belum menemukan definisi. Tapi ia mulai memahami: bahwa mengerti adalah terus bertanya.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar