ZMedia Purwodadi

Pendidikan Bukan Jawaban, tetapi Pertanyaan

Daftar Isi

Di sebuah petang yang sepi, saya memandangi seorang anak kecil yang bermain sendiri di halaman belakang rumah. Ia memungut ranting, menatanya dalam garis-garis bengkok yang tak dimengerti siapa pun kecuali dirinya. Ia bergumam pada dunia, seakan menjalin percakapan sunyi dengan dedaunan yang gugur. Saat itulah, saya teringat pada Oakeshott. Ia pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah bagian dari "a conversation of mankind", suatu percakapan besar yang terus berlangsung antara pikiran-pikiran manusia sepanjang sejarah.

Pendidikan, bagi Oakeshott, bukanlah sebuah tangga untuk naik ke puncak pragmatisme. Ia bukan alat untuk mencapai efisiensi, bukan kereta cepat menuju pekerjaan atau kekuasaan. Pendidikan adalah percakapan. Dan dalam percakapan itu, tidak ada suara yang harus dimenangkan, tidak ada opini yang perlu dijadikan dogma. Hanya ada keberlangsungan suara, kesediaan mendengar, dan kemurahan hati untuk berkata dengan kesadaran bahwa kata sendiri belumlah akhir.

Di dunia yang tergesa, percakapan terasa mewah. Kelas-kelas sekolah dipenuhi oleh kurikulum yang seragam, yang lebih suka suara yang benar daripada pertanyaan yang jujur. Kita memaksa anak-anak menjawab, namun jarang mengajarkan mereka untuk bertanya. Kita menilai mereka lewat angka, namun lupa bahwa makna hidup tak pernah dikandung dalam rumus. Di sinilah Oakeshott beringsut masuk, bukan dengan teriakan, tapi dengan usapan lembut di bahu kita yang mulai lelah: “Mungkin pendidikan adalah tentang menjadi bagian dari peradaban, bukan melampauinya.”

Ia percaya bahwa seseorang yang terdidik adalah ia yang mampu memahami ragam suara dalam percakapan umat manusia. Seorang yang membaca Shakespeare dan memahami Newton, yang mendengar Plato dan mengangguk pada Darwin, bukan karena ia harus sepakat dengan mereka, melainkan karena ia tahu bahwa dirinya bukan satu-satunya suara di dunia ini.


Oakeshott menolak pendidikan sebagai bentuk transmisi informasi. Informasi dapat dikirim, bahkan kini dengan sekejap jari di layar gawai. Tapi pemahaman, kebijaksanaan, dan rasa ingin tahu tidak bisa ditransfer seperti file. Mereka harus dibangun perlahan, dalam jeda-jeda percakapan, dalam keheningan membaca, dalam keterkejutan saat pikiran kita terbentur oleh ide yang belum pernah kita pikirkan sebelumnya.

Ia menyebut pendidikan sebagai bentuk initiation, sebuah upacara masuk ke dalam tradisi. Tapi bukan tradisi sebagai beban masa lalu, melainkan sebagai warisan yang terus diperbarui dalam interpretasi. Pendidikan bukanlah perintah untuk percaya, tapi undangan untuk mengerti. Kita belajar bukan untuk menjadi benar, melainkan untuk menjadi lebih penuh sebagai manusia.

Suatu malam, saya berbincang dengan seorang guru tua. Ia sudah lebih dari empat puluh tahun mengajar bahasa dan sastra di sebuah sekolah kecil. Saya bertanya, apa yang membuatnya tetap ingin mengajar? Ia menjawab pelan, "Karena setiap tahun, anak-anak selalu datang dengan dunia mereka masing-masing, dan saya ingin tahu seperti apa dunia itu." Saya terdiam. Mungkin itulah percakapan yang dimaksud Oakeshott, keingintahuan yang tidak pernah padam, bahkan ketika rambut mulai memutih dan kata-kata tak lagi seramah dulu.

Oakeshott juga mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah aktivitas yang senantiasa berada dalam ketegangan, antara kebebasan dan tanggung jawab, antara kesetiaan pada tradisi dan keberanian untuk menafsirkan ulang. Di tengah ketegangan itu, lahirlah manusia yang mampu berdialog, bukan hanya dengan orang lain, tapi juga dengan dirinya sendiri.

Ia menulis bahwa dalam pendidikan, guru bukanlah penguasa, dan murid bukanlah bejana kosong. Mereka adalah dua pelaut di kapal yang sama, menjelajah samudra pengetahuan yang tak pernah habis. Guru mengarahkan layar, murid belajar membaca bintang. Tapi tak ada jaminan mereka akan sampai di pantai yang sama. Karena pendidikan bukan soal tiba, tapi tentang perjalanan.

Dunia kini lebih menyukai efisiensi. Kita menyusun indikator, target, dan peta jalan. Tapi Oakeshott mengingatkan bahwa hal-hal terpenting dalam hidup jarang bisa dihitung. Cinta, keindahan, kesetiaan, keraguan, harapan—semuanya hidup dalam wilayah yang tidak bisa diukur. Mungkin pendidikan yang sejati adalah upaya kita menyiapkan anak-anak untuk menghadapi wilayah itu, wilayah di mana jawaban bukan segalanya, dan pertanyaan tidak selalu menuntut balasan.

Saya pernah melihat seorang siswa menulis puisi di belakang bukunya yang penuh rumus matematika. Di puisinya, ia menulis tentang ibunya yang sedang sakit, tentang bulan yang seperti mata yang mengintip dari jendela malam, tentang rindu yang tidak tahu caranya pulang. Di sana, saya mengerti bahwa pendidikan sejati bukan soal mengerjakan soal, tapi tentang mengolah hidup. Puisi itu tidak masuk ujian nasional, tapi mungkin ialah yang membuat anak itu tetap utuh.

Michael Oakeshott tidak menawarkan sistem pendidikan yang lengkap. Ia tidak menjanjikan revolusi pedagogik. Ia hanya menyodorkan satu hal yang mungkin paling penting, sebuah kesadaran untuk tidak tergesa. Untuk menyadari bahwa menjadi manusia berarti berada dalam percakapan yang panjang, kadang membingungkan, kadang membebaskan. Dan pendidikan adalah cara kita belajar menjadi bagian dari percakapan itu, dengan lembut, dengan sabar, dengan segenap diri.

Kita hidup di zaman yang kerap berisik. Tapi kadang, yang kita butuhkan adalah senyap. Karena dalam senyap itulah kita mendengar suara-suara yang selama ini tertelan, suara masa lalu, suara hati sendiri, suara mereka yang berbeda dari kita.

Mungkin itulah yang dimaksud Oakeshott. Bahwa menjadi manusia terdidik adalah menjadi manusia yang bisa duduk dalam percakapan panjang, dan tahu kapan harus berbicara, kapan harus mendengar, dan kapan harus diam, karena dalam diam pun, kita masih bagian dari percakapan itu.


Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day 

Posting Komentar