Mendidik Imajinasi: Percakapan Diam dengan Herbert Read
Seorang anak menggambar pohon. Ia tak sedang menyalin batang dan dahan, melainkan menyuarakan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan dengan kata. Dalam guratan tak beraturan itu, ia berbicara kepada dunia, dan kepada dirinya sendiri. Mungkin di situlah, kata Herbert Read, letak makna terdalam dari pendidikan: bukan penyeragaman, melainkan pembebasan. Bukan menjadikan manusia serupa, tapi mengajak mereka kembali menjadi diri mereka yang unik dan puitis.
Read bukanlah seorang pedagog dalam pengertian formal. Ia adalah penyair, kritikus seni, dan anarkis yang lembut. Namun, justru dari ketidakformalan itulah ia menemukan celah untuk merumuskan gagasan pendidikan yang melampaui ruang kelas dan silabus. Ia membicarakan pendidikan sebagai cara untuk menumbuhkan keutuhan manusia: manusia sebagai makhluk estetik, sosial, dan spiritual.
Ada kegelisahan yang melatari pikirannya: dunia modern, dengan pabrik-pabrik, perang, dan propaganda, telah melucuti manusia dari kebebasannya untuk mencipta. Pendidikan formal, kata Read, kerap menjadi alat produksi massal. Ia melatih kepatuhan, mengasah daya hafal, menumpulkan daya cipta. Padahal yang paling manusiawi dari manusia adalah imajinasinya.
Di dalam esainya yang mengalir seperti simfoni sunyi, Read menyampaikan bahwa seni bukanlah aksesori, melainkan substansi. Ia bukan hanya bidang studi, melainkan cara memahami realitas. Dalam seni, anak-anak menemukan ruang untuk menyampaikan kecemasan dan harapan mereka, untuk berdialog dengan dunia secara otentik. Maka jika pendidikan ingin membentuk manusia seutuhnya, ia harus dimulai dari seni. Bukan di akhir kurikulum, tapi di pusatnya.
Saya teringat pada seorang anak yang saya temui di lorong rumah singgah. Ia tak pandai membaca, tetapi menggambar wajah ibunya dengan mata yang selalu menangis. Di selembar kertas, ia memahat trauma. Namun juga, secara tak sadar, menyembuhkannya. Saya membayangkan Read akan berdiri di belakang anak itu, diam-diam mengangguk.
Read berbicara tentang “anarki” bukan dalam artian kekacauan, tapi dalam kepercayaan bahwa manusia, jika diberi ruang, akan tumbuh menjadi dirinya sendiri tanpa harus dipaksa. Ia percaya pada kebebasan, bukan sebagai slogan politik, tapi sebagai kondisi eksistensial. Pendidikan, menurutnya, tidak boleh menjinakkan manusia, tapi membebaskannya. Untuk berpikir, merasa, dan mencipta.
Gagasan ini barangkali terasa utopis di zaman yang terobsesi pada hasil, angka, dan akreditasi. Tapi utopia, seperti puisi, tetap penting. Bukan karena ia bisa dicapai, melainkan karena ia menjaga arah. Tanpa visi seperti yang ditawarkan Read, pendidikan akan menjadi mesin: efisien, produktif, tapi dingin. Dan anak-anak kita akan menjadi sekrup-sekrup kecil di dalamnya.
Dalam dunia Read, sekolah bukanlah pabrik, melainkan taman. Dan anak bukanlah kertas kosong, melainkan benih yang sudah membawa bentuknya sendiri. Tugas pendidikan bukan mencetak, tapi merawat. Bukan membentuk, tapi membiarkan tumbuh. Karena itu, seni bukan pelajaran, tapi napas. Ia yang memungkinkan manusia menjadi manusia.
Kita hidup di dunia yang cepat. Kecepatan dianggap cerdas, ketepatan dianggap kebenaran. Namun Read mengingatkan kita untuk pelan-pelan mendengar, menatap, dan merasakan. Ia mengajak kita kembali ke keheningan, tempat di mana kreativitas lahir dan jiwa disusun kembali.
Mungkin pendidikan, seperti puisi, tak perlu selalu menjawab. Cukup menjadi ruang kosong yang memungkinkan pertanyaan tumbuh. Dan jika kita beruntung, pertanyaan-pertanyaan itu akan melahirkan manusia. Bukan robot, bukan klon, tapi manusia yang imajinatif, penuh empati, dan bebas.
Pada akhirnya, Herbert Read bukan menawarkan teori pendidikan, melainkan cara mencintai manusia. Ia percaya bahwa setiap anak adalah seniman. Dan tugas kita bukan mengajarkan mereka menjadi sesuatu, tapi menjaga agar mereka tidak lupa siapa mereka.
Di dunia yang semakin mekanik, barangkali pendidikan yang puitis adalah bentuk keberanian. Dan Read, dengan sunyi dan sabar, mengajak kita untuk berani kembali mendidik dengan imajinasi.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar