Mencari Kebenaran Tanpa Guru
Pada suatu senja yang samar, aku teringat akan seorang bocah yang tumbuh di pulau sunyi, tanpa ibu, tanpa guru, tanpa kitab. Namanya Hayy ibn Yaqzan, yang hidup, anak kesadaran. Ia tidak dilahirkan dari rahim perempuan, melainkan dari kemungkinan spekulatif: bagaimana jika seorang anak, sendirian, bisa meraih kebenaran semurni-murninya, tanpa warisan dogma?
Ibn Tufayl, sang filsuf dari Andalusia, menulis kisah itu bukan sekadar fabel filosofis. Ia menulisnya sebagai semacam meditasinya sendiri, tentang hubungan antara akal dan wahyu, antara pengalaman inderawi dan pencerahan spiritual. Hayy adalah simbol dari jiwa manusia yang ditinggal telanjang oleh dunia, tapi kemudian menjahit pakaiannya sendiri dari kulit realitas.
Dan kita, manusia yang gemar meramaikan dunia dengan hiruk-pikuk sekolah, kurikulum, kredensial, justru sering lupa bagaimana berpikir tanpa guru.
Dalam kesendiriannya, Hayy menemukan Tuhan. Bukan Tuhan yang diajarkan di masjid, bukan Tuhan yang dicetak dalam ayat-ayat, tapi Tuhan yang ia temukan lewat gerak bintang, kematian rusa, dan renungan tentang tubuhnya sendiri. Di sini, Ibn Tufayl memutar balik sebuah asumsi besar: bahwa pendidikan tak selalu berasal dari luar. Bahwa terkadang, pengetahuan adalah api yang menyala dari dalam, bukan suluh yang diterangkan oleh orang lain.
Ia belajar dari bangkai dan burung, dari matahari dan angin, dari luka dan darah. Dunia menjadi madrasahnya, dan tubuhnya sendiri menjadi gurunya. Dan justru karena itu, ia menjadi manusia yang utuh, yang berpikir dan merasa sekaligus.
Ibn Tufayl seakan mengingatkan kita, bahwa mungkin kita telah terlalu lama mempercayai otoritas luar, lupa bahwa anak juga bisa menjadi filsuf, bahwa refleksi tak butuh ruangan kelas, dan bahwa pengalaman bisa lebih jujur daripada doktrin.
Namun kisah Hayy tak berhenti di pulau itu. Ia berlayar, akhirnya bertemu dengan manusia lain, dengan masyarakat. Di sini, drama sesungguhnya dimulai. Hayy, sang arif, justru kecewa. Ia mendapati manusia hidup dalam kerangkeng simbol, mencintai ilusi, menolak pertanyaan. Ia, yang datang membawa kebenaran yang ia temukan sendiri, justru dianggap aneh.
Dan pada titik ini, Ibn Tufayl menjadi sangat modern. Ia menyatakan, dengan getir dan elegan, bahwa kebenaran yang ditemukan dalam keheningan tak selalu bisa diterima oleh dunia yang bising. Bahwa ada jarak antara pengalaman mistik dan struktur sosial.
Hayy akhirnya memilih diam. Ia mundur, kembali ke kesepiannya, karena tahu bahwa tidak semua manusia siap menerima kebenaran yang tidak dikemas dalam bahasa umum. Ia sadar bahwa dunia butuh metafora, bahwa sebagian besar orang lebih nyaman dengan ibarat daripada realitas telanjang.
Bukankah ini juga tragedi kita hari ini?
Kita hidup di era informasi, tapi kehilangan kontemplasi. Kita mengagungkan sekolah, tapi lupa belajar diam. Kita berbicara tentang “inovasi pendidikan”, tapi menertawakan anak-anak yang menyendiri untuk berpikir. Kita membaca ratusan buku, tapi jarang sekali membaca kesunyian.
Di sinilah Ibn Tufayl menjadi cermin yang mengganggu. Ia menanyakan ulang hal yang paling mendasar: Apa itu belajar? Apa itu menjadi manusia?
Barangkali, seperti Hayy, kita juga harus mengalami pembusukan sebelum mengerti hidup. Kita harus menyentuh kematian, membuka perut dunia, mengendus bau luka, agar bisa merasakan kehadiran yang Maha Ada.
Maka pendidikan bukan soal isi kepala. Ia adalah proses mengasah jiwa untuk mencintai kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu tidak berguna. Ia adalah latihan untuk tidak puas pada jawaban. Ia adalah, sebagaimana ditunjukkan Ibn Tufayl, perjalanan panjang menuju keheningan yang menggetarkan.
Di ujung petualangannya, Hayy tak jadi nabi. Ia tidak mendirikan sekolah. Ia hanya pulang ke dirinya sendiri.
Dan mungkin, itu juga tugas kita: bukan mencari kebenaran di luar, tapi pulang ke kesadaran yang telah lama tinggal di dalam.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar