Membungkus Kecemasan dengan Pensil Warna
Di suatu siang yang biasa di ruang kelas yang tak terlalu luas, dua belas anak menggambar tubuh mereka sendiri di atas kertas besar. Di sana, di garis hati atau di perut yang mereka warnai merah muda atau abu, mereka menuliskan: “takut”, “berdebar”, “ingin muntah”. Bukan karena luka, bukan karena cinta pertama. Tapi karena ujian.
Di negeri yang katanya menjunjung pendidikan, anak-anak itu, usia sepuluh dan sebelas tahun, hidup dalam bayang-bayang akronim yang sunyi tapi mengerikan: SATs. Ujian bernama sopan tapi berdampak dalam: mengukur masa depan, melabeli guru, dan mengatur arah sekolah. Tapi tak pernah bertanya: “Bagaimana perasaanmu tentang itu?”
Ada banyak cara untuk membunuh rasa ingin tahu seorang anak. Salah satunya adalah dengan menyuruh mereka duduk diam selama berbulan-bulan, mengisi lembar-lembar latihan soal yang seragam. Dalam riset ini, seorang guru, yang juga peneliti, memilih cara yang berbeda: mendengar. Ia tidak datang membawa angket, tapi peta tubuh, bagan tekanan, dan garis waktu yang digambar dengan tangan kecil. Ia tidak menguji, ia diajak berbagi.
Dan ternyata anak-anak tahu banyak. Tentang kurikulum yang tiba-tiba menyusut, seperti taman bermain yang dipagari hanya untuk bermain matematika dan bahasa. Tentang guru yang berubah menjadi pelatih, bukan lagi pendamping. Tentang seni yang menghilang dari jadwal, dan tubuh yang tak lagi menari dalam pelajaran olahraga. Mereka tahu ini bukan hanya tentang belajar, tapi tentang bertahan.
Stella, salah satu anak, berkata, “Kami sudah terbiasa sekarang… tapi awalnya, rasanya aneh sekali.” Kebiasaan yang menggantikan kegembiraan adalah tanda zaman, ketika sekolah menjadi pabrik skor, dan anak-anak adalah statistik.
Anak-anak itu juga merasakan sesuatu yang orang dewasa kerap lupa: bahwa ketegangan bukan hanya milik orang tua yang menunggu rapor. Ia merayap di perut, mengganggu tidur, mengubah tawa menjadi diam. “Aku merasa seperti ada kupu-kupu,” tulis salah satu anak di peta tubuhnya. Tapi kupu-kupu itu tak menari, ia menggeliat dalam gelisah.
Ada anak yang memilih duduk sendiri di kelas, bukan karena pemalu, tapi karena nilai-nilainya berbeda. Ada yang menghindari sahabatnya, bukan karena marah, tapi karena kalah dalam angka. SATs bukan sekadar ujian. Ia menjadi cermin yang menyudutkan, memperlihatkan siapa yang “di atas”, siapa yang “tertinggal”. Dan dalam sistem yang dikendalikan logika pasar bebas (neoliberalisme dalam baju sekolah dasar) perbandingan adalah alat kekuasaan.
Yang mengerikan dari sistem ini bukan hanya tekanannya, tapi sunyinya. Anak-anak yang mulai percaya bahwa skor mencerminkan harga diri. Yang gagal merasa tidak cukup. Dan yang berhasil pun hidup dalam takut: jika esok, nilainya turun?
Namun, seperti dalam dongeng yang retak, selalu ada celah harapan. Di antara semua cerita tentang cemas, ada anak yang menulis dengan polos: “Saya bangga karena tidak menyerah.” Ada yang menggambar garis waktu hidupnya naik perlahan, bukan karena hasil, tapi karena perasaan bahwa dirinya bisa berkembang. Mereka menunjukkan apa yang tak bisa diukur oleh angka: ketekunan, keberanian, bahkan keajaiban kecil bernama daya tahan.
Dan ada pula tawa, sesudah ujian berakhir. Saat mereka berkata, “Kita berhasil.” Bukan dalam arti lulus. Tapi karena masih bisa tertawa.
Esai ini bukan tentang menolak ujian. Tapi tentang mendengar. Tentang menyadari bahwa ketika kita bicara tentang sistem pendidikan, kita sering melupakan subjeknya: anak-anak itu sendiri. Mereka bukan mesin penghasil nilai. Mereka bukan halaman kosong untuk kita isi. Mereka, seperti kita, merasa.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang di mana anak belajar mengenali dunia dan dirinya. Tapi bagaimana mereka bisa belajar jika sejak dini mereka diajarkan bahwa yang penting adalah mencetak dua angka di selembar kertas? Bahwa harga diri mereka naik-turun seperti grafik.
Kita tak bisa terus-menerus mendidik dengan ketakutan. Karena ketakutan membungkam imajinasi.
Maka barangkali, tugas kita bukan membuat ujian yang lebih adil, tapi menciptakan ruang yang lebih manusiawi. Dimulai dari bertanya dengan sungguh-sungguh dan tanpa prasangka, pertanyaan paling sederhana dan paling jarang kita ajukan:
“Bagaimana perasaanmu tentang semua ini?”
Dan ketika anak-anak mulai menjawab dengan pensil warna, dengan emotikon, dengan cerita tentang lumba-lumba di dasar laut, barangkali di situlah pendidikan sungguh dimulai.
Sumber baca:
Posting Komentar