Memahami yang Mengada
Kadang-kadang, yang paling dekat justru yang paling tak terlihat. Seperti sepatu tua yang setia melindungi kaki si petani, seperti palu yang tak kita perhatikan sampai ia retak di tangan. Martin Heidegger mengajak kita berjalan pelan-pelan ke ruang yang sering kita lewati, namun jarang kita lihat: ruang keberadaan itu sendiri. Kita terlalu sibuk menghitung, mengklasifikasi, menilai, tapi lupa menengok yang sederhana: bahwa kita ada.
Dalam dunia yang gemerlap oleh data dan efisiensi, pertanyaan Heidegger datang sebagai gangguan kecil yang nyaris seperti suara hujan di sore sepi: Mengapa ada sesuatu dan bukan ketiadaan? Di balik setiap bangunan, di balik lembar-lembar rencana pendidikan, Heidegger mengintip sesuatu yang sering kita lewati begitu saja: keber-adaan. Ia tidak bertanya apa yang ada, tapi bagaimana segala yang ada menampakkan dirinya kepada kita.
Di ruang kelas, mungkin pertanyaan ini terasa ganjil. Bagaimana mungkin filsafat yang berbicara tentang "ada" berkaitan dengan anak-anak yang belajar membaca dan berhitung? Tapi Heidegger justru menantang pendidikan untuk berhenti memperlakukan pengetahuan sebagai barang yang harus dikumpulkan, seolah-olah kepala anak adalah gudang yang harus dipenuhi. Ia mengusulkan agar pendidikan menjadi jalan pengungkapan: bagaimana seseorang menjadi terbuka pada dunia, bagaimana ia berdiri, dengan rapuh dan polos, di hadapan kenyataan.
Ada kisah tentang seorang anak yang memandang seekor kupu-kupu. Ia tidak tahu namanya, tidak tahu genusnya, tidak tahu deskripsi ilmiahnya. Tapi ia memperhatikan. Diam. Dalam tatapan itu, dunia mungkin mengungkapkan dirinya. Heidegger menyebut ini "membiarkan yang mengada menyingkapkan diri sebagaimana adanya." Pendidikan seharusnya menjadi kesempatan untuk mengalami momen-momen semacam itu, momen ketika kita berhenti menguasai, berhenti menyusun peta, dan mulai membiarkan sesuatu hadir dengan caranya sendiri.
Namun dunia kita bergerak cepat. Kita suka angka. Kita suka tabel. Kita suka hasil belajar yang terukur, grafik yang rapi, kompetensi yang tersusun rapi seperti rak di toko swalayan. Pendidikan pun cenderung menjadi pabrik: memproduksi manusia-manusia yang cakap bekerja, tetapi lupa bagaimana caranya berada. Lupa mendengarkan suara halus yang mengendap di sela-sela kesibukan: siapa aku? di mana aku berdiri? apa artinya hidup di dunia ini?
Heidegger tak menawarkan jawaban yang mudah. Ia bahkan kerap dianggap gelap, berat, sukar dipahami. Tapi mungkin, justru karena ia mengajak kita menapaki jalan yang jarang dilalui. Jalan itu seperti hutan kecil di pinggir kota yang telah kita lupakan. Ada yang bersembunyi di sana, menunggu ditemukan bukan untuk dikuasai, tapi untuk dihormati.
Dalam konteks pendidikan, Heidegger menawarkan pemahaman tentang teknologi yang tak sekadar alat, melainkan cara manusia menghadirkan dunia. Di zaman ini, kata Heidegger, teknologi telah menjadikan segala sesuatu sebagai sumber daya yang bisa dimanipulasi. Pohon menjadi kayu, sungai menjadi tenaga, manusia menjadi tenaga kerja. Bahkan diri kita sendiri, terkadang kita perlakukan sebagai sumber daya: tubuh yang harus produktif, pikiran yang harus efisien. Kita lupa, kita adalah makhluk yang berdiam. Yang mendengar. Yang bisa terpesona.
Mungkin seorang guru yang duduk diam di sudut kelas, mendengarkan muridnya berbicara, adalah wajah kecil dari perlawanan itu. Perlawanan terhadap pendidikan yang sibuk menghitung, sibuk menghafal, sibuk mengejar target. Di dalam diam itu, mungkin sang guru tengah membiarkan dunia hadir. Mungkin ia sedang mengajari muridnya, tanpa kata-kata, tentang bagaimana berada di dunia: dengan tenang, dengan terbuka, dengan kesediaan untuk terkejut.
Heidegger tidak meminta kita membuang teknologi. Ia hanya mengingatkan, bahwa dalam gelombang percepatan ini, kita mesti mengingat satu hal: bahwa manusia bukan mesin. Bahwa belajar bukan akumulasi. Bahwa pengetahuan bukan gudang. Ia adalah peristiwa. Ia adalah pembukaan. Seperti embun yang muncul di ujung daun di pagi hari, tak tergesa, tak dipaksa, hanya hadir.
Ada sebuah cerita tentang seorang anak yang bertanya pada ayahnya: mengapa langit berwarna biru? Sang ayah terdiam lama. Ia tidak segera menjawab dengan penjelasan fisika tentang hamburan cahaya. Ia memandang langit, dan dengan perlahan berkata, mungkin langit biru karena ia ingin membuat kita tenang. Mungkin itu bukan jawaban yang benar, tapi dalam jawaban itu ada penghormatan pada misteri. Ada ruang yang dibiarkan terbuka, agar anak itu bisa menemukan maknanya sendiri.
Heidegger mengajak kita menjaga ruang-ruang semacam itu dalam pendidikan. Ruang di mana tidak semua harus dijelaskan. Tidak semua harus dikuasai. Ada kebijaksanaan dalam membiarkan. Dalam menghormati kehadiran. Dalam menunggu dengan sabar.
Barangkali, dalam dunia yang semakin gaduh, pendidikan yang sejati adalah yang mengajarkan bagaimana kita bisa diam. Bagaimana kita bisa berdiri di hadapan langit, di hadapan pohon, di hadapan sesama manusia, dan berkata: aku di sini. Aku ada. Dan aku mau mendengarkan.
Seperti bunyi palu yang hanya terdengar ketika ia retak, mungkin kita baru sadar tentang keber-adaan ketika sesuatu patah, hilang, atau berhenti. Mungkin, pendidikan yang baik adalah yang mempersiapkan kita untuk momen-momen retak itu. Agar ketika dunia yang kita kenal tiba-tiba remuk, kita masih punya satu kemampuan sederhana: untuk melihat. Untuk benar-benar melihat.
Dalam pandangan Heidegger, itu cukup. Itu adalah awal dari segala pemahaman.
Dan mungkin, itu juga cukup bagi kita.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar