ZMedia Purwodadi

Ketika Sonic Mengajari Ilmu Klasifikasi

Daftar Isi

Setiap anak membawa dunianya sendiri ke ruang kelas. Dunia yang tak tercantum dalam silabus, tak tersurat dalam rubrik penilaian, tapi hadir dalam cara mereka duduk, bertanya, tertawa, dan menghindar. Dalam dunia itu, Sonic berlari lebih cepat dari cahaya, rintangan muncul sebagai tantangan, dan keberhasilan diukur bukan dengan nilai, tapi dengan level yang dicapai. Dunia game, bagi mereka, bukan sekadar hiburan. Ia adalah bahasa, ruang pertemanan, arena kompetensi, dan juga tempat berteduh.

Kita kerap menganggap ruang kelas sebagai dunia yang terpisah dari itu semua. Di sana, anak-anak diharapkan meninggalkan dunianya di depan pintu, menanggalkan jubah pahlawan pixelnya, menutup layar, dan mengganti petualangan dengan soal pilihan ganda. Tapi bagaimana jika, alih-alih menutup dunia itu, kita justru membukanya? Bagaimana jika pelajaran tentang klasifikasi makhluk hidup dimulai bukan dari tabel atau ensiklopedia, tapi dari pertanyaan: apa persamaan antara Knuckles dan echidna?

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di beberapa sekolah dasar di Inggris, muncul sebuah gagasan sederhana namun berani: membiarkan game masuk ke dalam pelajaran sains. Bukan dengan menjadikan ruang kelas arena bermain digital, tetapi dengan meminjam bahasa, karakter, dan logika dari dunia game untuk menjelaskan konsep ilmiah. Hasilnya mengejutkan: anak-anak lebih terlibat, lebih percaya diri, dan lebih memahami materi.

Seorang guru bercerita tentang seorang anak dengan autisme yang biasanya kesulitan fokus. Tapi pada hari itu, saat Sonic dan teman-temannya menjadi alat belajar, ia berbicara lebih banyak, bertanya lebih dalam, dan bertahan lebih lama dalam pelajaran. Anak itu tidak berubah. Yang berubah adalah pintu yang kita buka: pintu menuju dunianya.


Saya teringat sebuah kalimat dari Gloria Anzaldúa: bahwa kita semua membawa "batas" di dalam diri kita, batas antara budaya, bahasa, pengalaman. Pendidikan sering gagal karena ia enggan menyentuh batas-batas itu, bahkan menutupinya. Tapi Yosso, dengan gagasan tentang cultural wealth, mengajak kita melihat sebaliknya: bahwa pengalaman anak-anak, tak peduli betapa "tidak akademis" ia tampak, adalah kekayaan yang bisa kita bawa masuk ke ruang kelas.


Game, dalam hal ini, bukan hanya tentang skor atau kemenangan. Ia mengajarkan strategi, kolaborasi, adaptasi, persis seperti yang kita harapkan dari proses belajar yang ideal. Seorang anak yang bisa mengatur sumber daya dalam Minecraft, atau membangun tim dalam Fortnite, telah mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang tak kalah dari siswa yang bisa menjelaskan fotosintesis. Yang membedakan hanyalah konteks dan pengakuan.

Mengapa kita begitu lambat mengakui bahwa kebudayaan game adalah bagian sah dari kebudayaan anak-anak masa kini? Apakah karena kita takut ia menggeser otoritas pengetahuan sekolah? Ataukah karena kita masih terperangkap dalam dikotomi kuno antara bermain dan belajar?

Padahal, seperti ditunjukkan dalam studi ini, ketika kita mulai dari apa yang anak-anak cintai, pelajaran menjadi hidup. Mereka tak lagi hanya mendengarkan, tapi berpartisipasi. Mereka tidak sekadar mengulang, tapi menciptakan. Klasifikasi makhluk hidup tak lagi tampak seperti hafalan rumit, tapi seperti teka-teki dalam permainan.


Namun tentu saja, seperti semua hal yang berharga, pendekatan ini tidak tanpa tantangan. Ada kekhawatiran tentang representasi gender dalam game, tentang ketimpangan akses digital, bahkan tentang potensi adiksi. Tapi apakah jawaban terhadap ketidaksempurnaan adalah penolakan total? Atau justru penyempurnaan lewat integrasi yang cermat?

Pendidikan yang inklusif bukan pendidikan yang mengabaikan risiko, melainkan yang sanggup meresponsnya dengan bijak. Kita bisa memilih game yang sehat. Kita bisa memastikan bahwa teknologi tidak menggantikan guru, melainkan memperkaya relasi guru dan murid. Dan yang paling penting, kita bisa menjadikan budaya anak, termasuk budaya digital, sebagai pintu masuk, bukan tembok pembatas.


Di tengah segala keterbatasan, ada satu hal yang pasti: anak-anak hari ini belajar dengan cara yang berbeda dari generasi sebelumnya. Bukan karena mereka kurang disiplin, atau terlalu tergantung pada layar, tapi karena dunia mereka memang telah berubah. Dan pendidikan yang tak mau berubah bersamanya, akan ditinggalkan.

Bayangkan ruang kelas sebagai panggung. Di satu sisi, guru dengan buku dan papan tulisnya. Di sisi lain, anak-anak dengan dunia digital yang bergerak cepat, penuh warna, penuh tantangan. Apakah panggung itu akan menjadi arena benturan atau tempat pertemuan?

Esai ini tidak menawarkan jawaban pasti. Tapi ia mengajukan satu harapan: bahwa kita mau bertanya, mau mendengar, dan mau belajar dari dunia anak-anak itu sendiri. Bahwa kita tak hanya mengajar mereka, tapi juga bersedia belajar dari mereka, dari Sonic, dari Knuckles, dari cara mereka tertawa saat menemukan bahwa seekor echidna bisa menjadi pelajaran sains yang menyenangkan.

Sebab mungkin, pelajaran paling penting dalam pendidikan bukanlah klasifikasi atau kurikulum, tapi kesediaan kita untuk percaya bahwa dunia anak-anak, betapapun asing atau berisik terdengar di telinga dewasa, adalah dunia yang layak didengar. Dan ketika dunia itu kita undang masuk ke dalam kelas, bukan tak mungkin, mereka akan mendengarkan kita kembali dengan lebih utuh, lebih terbuka, dan lebih bersemangat.

Di sanalah, mungkin, pendidikan benar-benar dimulai.


Sumber baca:

Posting Komentar