ZMedia Purwodadi

Hujan yang Pelan-Pelan Menyerap ke Tanah

Daftar Isi

Seorang anak yang duduk di pojok ruang kelas memandangi papan tulis bukan karena mengerti, melainkan karena terbiasa. Di tangannya ada pensil, di pikirannya ada angka, tetapi tak satu pun melekat. Bukan karena ia malas, bukan pula karena bodoh, tetapi karena dunia angka itu seperti sungai yang mengalir terlalu deras: ia terseret sebelum sempat belajar berenang.

Mengapa kita terburu-buru dalam mengajar anak berhitung, seperti kita mengajarkan anak berbicara dalam bahasa asing hanya dengan kamus dan hafalan?

Dalam dunia pendidikan, terutama dalam pengajaran matematika, kita sering tergoda oleh kecepatan. Kita menilai keberhasilan dari seberapa cepat anak-anak menyelesaikan soal, seberapa banyak topik yang telah “dibahas”, seberapa tinggi nilai ujian mereka. Namun, seperti kata Jerome Bruner, anak-anak bisa belajar hal paling kompleks sekalipun jika kita tahu bagaimana cara menyampaikannya.


Bahkan di berbagai negeri, pendekatan bernama mastery mulai diperkenalkan: sebuah cara mengajar yang tak menilai dari percepatan, tetapi dari kedalaman. Bayangkan kita tidak lagi memaksa anak menyeberangi sungai dengan melompat, tapi membangun jembatan yang kuat dari pondasi yang kokoh, papan demi papan, sambungan demi sambungan.

Gagasan ini diambil dari pendekatan pengajaran matematika di Shanghai, di mana anak-anak tidak diklasifikasikan berdasarkan kecepatan memahami, tetapi diberi waktu dan ruang untuk menyerap. Di sana, pelajaran dibagi dalam langkah kecil, setiap konsep ditanamkan dengan akar yang dalam, dan setiap anak, tanpa terkecuali, dipercaya bisa “mengerti” asalkan diberi waktu yang cukup dan cara yang tepat.


Ini bukan sekadar teknik. Ini adalah filosofi. Sebuah keyakinan bahwa semua anak bisa belajar matematika, bukan karena mereka cerdas secara instan, melainkan karena mereka manusia yang mampu bertumbuh.


Namun mengubah cara berpikir guru seperti mengganti fondasi rumah yang sudah lama berdiri tidak mudah. Banyak guru dibesarkan dalam sistem yang menjadikan matematika sebagai kompetisi kecepatan. Mereka diajarkan bahwa “anak pintar” adalah yang bisa menghitung cepat, menghafal tabel perkalian, dan menyelesaikan soal cerita tanpa harus bertanya. Maka, ketika pendekatan mastery hadir, ia terasa asing, bahkan mencurigakan.

Bagi sebagian guru di Inggris yang diwawancarai dalam studi ini, mastery bukanlah ajaran yang mengakar. Ia lebih sering dipahami sebagai “metode baru” ketimbang “cara berpikir baru”. Guru-guru ini tahu bahwa mereka diminta untuk membagi pelajaran menjadi bagian-bagian kecil dan menggunakan alat bantu seperti buku teks, tetapi tidak semua memahami mengapa itu penting, atau dari mana pendekatan itu berasal.

Bandingkan dengan guru-guru dari Shanghai yang mampu menyebutkan nama-nama seperti Polya, Dewey, dan Freudenthal, dan menjelaskan bagaimana filsafat pendidikan membentuk cara mereka merancang pelajaran. Di sana, matematika tidak hanya tentang angka, tetapi tentang logika, imajinasi, bahkan keindahan berpikir.


Ada perbedaan penting yang muncul dalam riset ini. Guru-guru Inggris cenderung menilai keberhasilan siswa dari sejauh mana mereka menyelesaikan bab pelajaran atau mencapai skor tertentu dalam asesmen. Sementara itu, guru-guru Shanghai menilai dari seberapa mampu anak menjelaskan kembali apa yang ia pahami, bagaimana ia menghubungkan satu konsep dengan konsep lain, dan bagaimana ia mampu membentuk gagasan dari dalam dirinya sendiri.

Ini bukan soal mana yang lebih benar. Tapi ini menyentuh inti dari apa yang kita percayai tentang belajar: apakah belajar adalah menyerap informasi, atau membentuk pemahaman?.


Mengajar matematika, jika dilihat dari lensa mastery, sebetulnya mirip seperti merawat taman. Kita tidak bisa memaksa pohon berbunga sebelum waktunya. Kita hanya bisa memberi tanah yang subur, air yang cukup, dan waktu yang sabar. Kita percaya bahwa benih itu, pada waktunya, akan tumbuh.

Namun sistem pendidikan modern kadang tak sabar. Ia ingin hasil yang cepat. Ia menghitung keberhasilan dari angka-angka. Maka, mastery pun kadang dikerdilkan menjadi sekadar “strategi ujian”. Ironi ini muncul di banyak sekolah: filosofi yang mengajarkan kedalaman malah digunakan untuk mengejar kedangkalan.


Tetapi ada harapan. Di sekolah-sekolah yang telah mengadopsi pendekatan mastery dengan pemahaman mendalam, terlihat perubahan: anak-anak yang biasanya terdiam mulai bertanya, anak-anak yang dulu takut matematika mulai menikmati tantangan. Bukan karena mereka diberi soal yang lebih mudah, tetapi karena mereka merasa dihargai dalam proses berpikir mereka. Mereka tak lagi merasa “tertinggal”, karena tak ada yang ditinggal. Semua berjalan bersama.

Dan mungkin, justru di sanalah letak keindahan pendekatan ini. Mastery bukan soal menjadi yang terbaik, tetapi menjadi cukup dalam untuk mengerti.


SSebuah kelas matematika, jika kita bayangkan ulang, bukanlah ruang pengisian jawaban, tetapi laboratorium kecil pemikiran. Di sana, anak-anak mencoba, gagal, mencoba lagi, dan perlahan membangun struktur pemahaman yang utuh. Mereka tidak melompati pengetahuan, tetapi mengukirnya sedikit demi sedikit.

Seperti hujan yang tak deras, tapi menyerap pelan ke dalam tanah.


Maka pertanyaannya bukanlah “berapa cepat mereka bisa sampai”, tetapi “sejauh apa mereka bisa memahami”. Bukan “berapa nilai mereka minggu ini”, tetapi “apa yang masih mereka ingat satu tahun dari sekarang”.

Di tengah tuntutan angka dan hasil instan, mungkin inilah saatnya kita memperlambat langkah. Bukan karena kita menyerah, tetapi karena kita ingin benar-benar sampai.

Seperti yang dikatakan oleh seorang guru dalam riset ini, “Mastery itu bukan soal lulus tes. Itu soal membuat anak mengerti mengapa 2 tambah 2 itu bukan hanya 4, tetapi bagian dari pola, bagian dari cerita, bagian dari dunia.”

Dan mungkin, ketika kita mengajar dengan cara seperti itu, kita sedang tidak hanya membentuk ahli matematika. Kita sedang membentuk manusia yang berpikir.


Sumber baca: 

Posting Komentar