Erasmus dan Pendidikan yang Lembut
Di dalam ruang yang lengang, di mana kertas tua menderit oleh waktu dan pena kering oleh pengharapan, seseorang menulis bukan untuk menguasai dunia, tetapi untuk mendamaikannya. Dialah Desiderius Erasmus, si penyendiri yang lebih memilih tinta daripada darah, lebih percaya pada buku daripada pedang, dan lebih menyayangi anak-anak daripada doktrin. Ia adalah suara yang lirih di tengah gereja yang gemuruh. Suara yang justru menemukan kekuatan dalam kelembutan.
Erasmus bukan seorang guru di kelas. Tapi dari bilik sunyi tempatnya menulis, ia menyusun ulang cara kita memahami belajar. Ia percaya bahwa pendidikan bukan untuk mengisi kepala, melainkan untuk membentuk hati. Bahwa anak bukan kertas kosong yang harus dicetak, tapi taman kecil yang harus dipelihara dengan kelembutan, bukan paksaan.
Bayangkan seorang anak kecil di Deventer, tahun 1475. Tubuhnya lemah, matanya murung, tapi tangannya tak henti menyentuh halaman demi halaman. Ia mungkin tak menyadari bahwa rasa sakit karena kehilangan orang tua, karena dinding asrama yang dingin, akan kelak menjadi semacam pupuk bagi kebijaksanaan yang tumbuh dalam dirinya. Ia belajar sejak dini bahwa dunia bisa kejam. Maka, kelak ketika menjadi dewasa, ia memutuskan untuk tidak menambah kekejaman itu, bahkan dalam hal yang paling sakral sekalipun: pendidikan.
Dalam De Pueris Instituendis, Erasmus menulis sesuatu yang hari ini bisa terdengar sederhana tapi sebenarnya revolusioner: bahwa setiap anak itu berbeda. Ia menyarankan guru untuk tidak memaksakan kehendak, tetapi mengamati kecenderungan alami murid-muridnya. Pendidikan, dalam pandangannya, bukan pemaksaan, tapi pendampingan. Bukan pemadatan informasi, tapi penyulutan gairah. Ia menulis, "Kita belajar paling mudah hal-hal yang sesuai dengan kecenderungan kita sendiri." Pernyataan itu, bagi zaman yang mengagungkan dogma dan disiplin keras, adalah suara yang nyaris subversif.
Mungkin karena itu ia tak tahan berada dalam sistem. Ia menolak sistematika teologi yang kaku seperti ia menolak kurikulum yang membatu. Ia, sang “Pangeran Humanis,” lebih suka dialog dan percakapan daripada silabus dan hukuman. Dalam De Ratione Studii, ia menyarankan agar anak belajar dari literatur, bukan dari hafalan kosong. Ia membela bahasa Latin dan Yunani bukan sebagai bahasa mati, tapi sebagai jendela untuk memahami kehidupan.
Tapi Erasmus tahu ia menulis di dunia yang tak sabar. Ketika Luther memilih api, ia tetap bertahan dengan tinta. Ketika More memilih mati demi prinsip, Erasmus perlahan tenggelam dalam sunyi yang getir. Bertrand Russell kelak menulis bahwa dunia terlalu keras bagi orang seperti Erasmus. Dan memang, pada akhirnya, ia tidak mati di tiang gantungan. Tapi ia mati dalam kesepian. Dan setelah wafat, karya-karyanya dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang oleh Gereja yang pernah dicintainya.
Namun mungkin di situlah letak keagungannya.
Ia menulis bukan untuk memerintah, tapi untuk mengajak. Ia tak mendirikan sekolah, tapi ia membangun harapan. Ia tak melahirkan sistem pendidikan, tapi ia menghidupkan cara memandang anak-anak sebagai manusia. Dalam dunia yang semakin percaya pada standar dan ranking, Erasmus mungkin akan tersingkir. Tapi di ruang yang lebih sunyi, di antara seorang guru dan seorang murid, gagasan Erasmus masih hidup: bahwa mengajar adalah mencintai dalam bentuk paling sabar.
Seperti kata-katanya yang paling hening namun paling tegas, seorang guru harus menjadi seperti orangtua. Ia harus, dalam cara yang lembut, menjadi anak kembali agar anak didik mau mendekat. Di tengah kelas, bukan disiplin keras yang paling berkuasa, tapi kehadiran yang penuh empati.
Pendidikan, kata Erasmus, bukan proyek kekuasaan, tapi sebuah seni yang menuntut perasaan. Sebuah kesenian hidup yang menghargai anak sebagai misteri, bukan objek. Maka, setiap anak adalah semesta kecil yang perlu dibaca dengan telaten, bukan dipecahkan dengan rumus. Setiap kata yang keluar dari mulut guru seharusnya mengandung hormat, bukan kuasa. Dan setiap kesalahan anak adalah kesempatan untuk mengenal lebih dalam, bukan alasan untuk menghukum.
Ada yang mengatakan bahwa hidup Erasmus adalah kegagalan yang elegan. Ia tak memenangkan pertarungan besar, ia tak mendirikan universitas, ia tak menjadi santo. Tapi mungkin ia memang tidak ingin menang. Mungkin, yang ia inginkan hanyalah agar dunia ini tak terlalu keras bagi anak-anak. Agar setiap kata dalam buku menjadi pelita, bukan borgol. Agar setiap ruang belajar menjadi rumah, bukan penjara.
Dan untuk itu, kita mungkin tak memerlukan sistem baru, tapi keberanian untuk memperlambat langkah. Untuk mendengarkan anak-anak yang belum pandai bicara. Untuk menyentuh kepala mereka tidak dengan aturan, tapi dengan kasih.
Sebab, seperti yang dipercayai Erasmus seumur hidupnya: semua pendidikan bermula dari cinta. Dan cinta, seperti yang ia tahu betul, tidak pernah memaksa.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar