ZMedia Purwodadi

Antara Tiga Warna Kapur

Daftar Isi

Di sebuah kelas kecil di pulau karang, guru itu berdiri di depan papan tulis. Tiga warna kapur disiapkannya: putih untuk yang "bisa", biru untuk yang "cukup", merah muda untuk yang "masih perlu bantuan". Ia menatap murid-muridnya, seolah menakar: siapa yang layak diberi garis putih?

Saya membayangkan ia ragu, tapi juga percaya. Bahwa setiap anak membawa jalan masing-masing untuk sampai ke ujung pelajaran. Bahwa mengajar bukan soal menuangkan isi, melainkan menemani perjalanan. Tetapi dunia tidak selalu memberi waktu. Kadang hanya 35 menit, kadang dengan 35 murid. Dan semua itu harus muat dalam satu rencana pelajaran.


Dalam hidup, kita sering menyusun kategori, tanpa sadar atau terpaksa. Kita senang memberi label: pintar, cukup, tertinggal. Kita ingin agar perbedaan bisa ditangani dengan sistem. Tapi di sekolah, seperti juga dalam cinta atau kesedihan, yang tetap adalah ketakterdugaan. Anak yang "tertinggal" hari ini, bisa mengejutkan minggu depan. Yang tampak cemerlang, bisa tiba-tiba diam, sunyi, kehilangan arah.

Itulah yang disebut "kesiapan belajar", readiness, oleh Carol Tomlinson. Sebuah gagasan bahwa setiap anak adalah lanskap yang berubah. Bukan klasifikasi statis. Tapi dalam kelas di Maladewa itu, yang hidup justru adalah kategorisasi tetap. Guru membagi tugas berdasarkan siapa yang "cepat", "sedang", dan "lambat". Ada semacam niat baik di balik itu, menyesuaikan. Tapi ada juga luka kecil yang tertanam: mengapa aku diberi soal yang lebih sedikit? Apakah aku selalu menjadi si merah muda?


Saya pernah bertemu seorang anak yang menangis bukan karena tak bisa menjawab soal, tapi karena tahu bahwa soalnya “berbeda dari yang lain”. Ia merasa dunia telah memisahkannya diam-diam. Differentiated instruction, katanya, bertujuan untuk keadilan. Tapi keadilan yang terburu-buru kadang menyerupai penghakiman.


Begitu banyak guru yang tahu bahwa harus ada pendekatan berbeda untuk setiap anak, tapi waktu terlalu sempit untuk benar-benar mengenal mereka. Dan sering, apa yang tampak sebagai "perbedaan kemampuan" hanyalah bayangan dari perbedaan perhatian.


Dalam riset ini, empat guru bicara tentang pelajaran yang mereka rancang dengan sungguh-sungguh. Ada koordinasi setiap minggu, ada diskusi tentang strategi, bahkan ada refleksi tentang materi yang pernah diajarkan di kelas sebelumnya. Tapi tetap saja, yang dihadapi adalah sistem: kelas besar, waktu sedikit, tak ada asisten guru.

Saya membayangkan ruang itu seperti perahu kayu yang berlayar di laut luas, dengan guru sebagai nakhoda tunggal. Ia harus tahu arah angin, harus tahu siapa yang mabuk laut, siapa yang bisa mengemudi, siapa yang justru menari-nari di geladak. Dan semuanya harus sampai ke pelabuhan sebelum bel berbunyi.


Tetapi harapan tetap ada. Ia lahir di sela-sela kerja kolaboratif, dalam pertemuan rutin, dalam keinginan tulus untuk tidak menyerah pada cara lama. DI, atau differentiated instruction, bisa menjadi lebih dari sekadar teknik. Ia bisa menjadi filsafat. Bahwa mengajar bukan tentang menyamakan capaian, tapi memperluas jalan agar semua bisa berjalan.

Goethe pernah menulis, “Treat people as if they were what they ought to be and you help them to become what they are capable of being.” Mungkin begitu juga dengan murid. Jangan ajari mereka karena siapa mereka sekarang, tapi karena siapa yang bisa mereka jadi.

Dan tugas guru bukan sekadar mengatur soal, tapi membuka kemungkinan.


Kelas adalah ruang yang rapuh. Di sana, struktur dan kasih sayang harus berdamai. Maka ketika seorang guru menyesuaikan tugas agar murid tak merasa kalah sebelum bertanding, ia sebenarnya sedang menulis puisi diam-diam. Puisi yang tak dicetak, tapi tertanam dalam ingatan seorang anak yang merasa dihargai.

Saya membayangkan, suatu hari nanti, di Maladewa atau di mana pun, seorang murid akan berkata: “Saya dulu diberi kesempatan untuk belajar dengan cara saya.” Dan di saat itu, guru yang telah lelah itu akan tahu: tiga warna kapur bukan hanya pembeda, tapi jembatan.


Sumber baca: 

Posting Komentar