ZMedia Purwodadi

Dalam Sunyi Kelas yang Ramai

Daftar Isi

Anak itu duduk di pojok, di bangku yang setiap pagi sudah tahu bahwa ia akan diduduki oleh yang sama. Tak pernah lebih awal, tak pernah paling belakang. Namanya jarang disebut, kecuali saat ada yang mengeluh. Dan guru, dengan suara yang mencoba mengatur kesabaran seperti mengatur kursi yang tak seimbang, berkata pelan namun terdengar tajam: "Kamu bisa tolong diam sebentar?"

Kita hidup dalam simfoni sosial. Setiap anak yang lahir membawa semacam nada, ada yang mudah larut dalam orkestra tawa dan persetujuan, ada pula yang terjatuh di sela-sela irama, tak terdengar, atau terdengar terlalu keras.

Di sebuah sekolah dasar di Swiss, para peneliti mencoba mendengarkan sunyi itu. Mereka tidak hanya menghitung nilai atau memperhatikan siapa yang angkat tangan paling cepat, tetapi mereka mendengar sesuatu yang lebih halus—bisikan kecil dari interaksi sosial: siapa yang diajak bermain, siapa yang tak pernah diajak. Siapa yang dipuji guru, dan siapa yang lebih sering diminta "mencoba lagi".


Goethe pernah berkata bahwa pendidikan bukanlah mengisi ember, melainkan menyalakan api. Tapi bagaimana jika api itu dinyalakan di ruang yang dingin, penuh angin penolakan? Bagaimana jika nyala kecil itu selalu tertiup padam oleh suara yang tidak disadari: "Itu salah, coba lagi", "Jangan ganggu temanmu", "Kamu selalu begini".

Penelitian ini menunjukkan, dengan lembut tapi tegas, bahwa anak-anak yang menerima banyak umpan balik negatif dari guru, terutama yang berkaitan dengan perilaku sosial, adalah juga mereka yang ditolak oleh teman sebaya. Seakan-akan guru membuka tirai, dan semua anak lain bisa melihat: Inilah yang tak pantas.


Di dunia kecil bernama kelas, guru adalah matahari dan bulan. Mereka menentukan siang dan malam. Pujian mereka bisa menjadi sinar yang membuat anak-anak tumbuh, dan teguran mereka, meski tak dimaksudkan jahat, bisa menjadi awan yang menetap lama di atas kepala seorang anak.

Tapi bukan tentang menyalahkan guru. Karena yang lebih menggetarkan adalah bagaimana sistem sosial yang tampak acak itu sebenarnya sangat teratur. Anak yang tak punya keterampilan sosial yang baik, yang tak tahu kapan harus menunggu giliran, atau bagaimana menyapa tanpa mengganggu, adalah juga anak yang paling rentan. Dan ketika ia ditegur di depan kelas, bukan hanya ia yang mendengar. Semua mendengar. Dan semua belajar siapa yang harus dijauhi.


Dalam tradisi Zen, ada konsep mu-shin, pikiran tanpa penghakiman. Dalam kelas, mungkinkah kita melatih semacam pengamatan yang penuh welas asih? Bahwa setiap gangguan bukan semata ketidaksopanan, tapi mungkin permohonan tak langsung: "Tolong lihat aku", "Tolong dengar aku".

Penelitian ini menyebut tiga kelompok: mereka yang ditolak, mereka yang berada di tengah, dan mereka yang diterima. Tapi yang menyentuh adalah ini: tidak semua yang ditolak adalah mereka yang lemah dalam bahasa. Beberapa berbicara dengan cukup jelas, tapi tetap tak mampu membangun jembatan. Artinya: keterampilan sosial, bukan hanya kemampuan bahasa, adalah kunci.


Dan mungkin, lebih penting dari itu, adalah pengakuan. Bahwa kita semua guru, murid, dan sistem bisa saling mempengaruhi. Bahwa satu ucapan guru bisa bergema dalam banyak percakapan di halaman sekolah. Dan bahwa satu anak yang merasa ditolak bisa membawa luka itu sepanjang hidupnya.


Seorang anak pernah menulis di buku hariannya:
"Aku bukan nakal. Aku hanya tidak tahu caranya jadi baik."
Dan mungkin, seperti itulah banyak anak yang tersembunyi di balik data penelitian ini.

Yang kita butuhkan bukan algoritma lebih rumit, tapi perhatian yang lebih halus. Bukan hanya program pelatihan guru, tapi juga pelatihan untuk mendengar, mendengar yang tidak dikatakan.

Akhirnya, dalam kelas yang hening, kita bisa belajar menyimak kembali. Bukan hanya suara anak-anak yang pandai, tapi gema dari mereka yang duduk diam. Yang mungkin hanya ingin satu hal sederhana: diterima, tanpa harus sempurna.

Dan kita tahu, dari riset ini dan dari hidup itu sendiri: penerimaan adalah akar dari segala pembelajaran.


Catatan ini ditulis bukan untuk menjawab, melainkan untuk mengingatkan: bahwa pendidikan, lebih dari apa pun, adalah tentang relasi yang adil dan penuh welas asih.


Posting Komentar