Cermin Retak di Ruang Kelas
Ada cermin yang tergantung di dinding kelas itu. Tak terlihat oleh mata, namun memantulkan begitu banyak bayangan yang tak kita sadari. Seorang guru berdiri di hadapan murid-muridnya, dan tanpa sadar, ia membawa ke dalam kelasnya jejak-jejak masa kecilnya sendiri: dari ucapan ibunya tentang “anak perempuan yang harus bersikap manis,” hingga cerita ayahnya tentang “lelaki sejati” yang tak boleh menangis. Refleksi itu tidak pernah sekadar tentang apa yang kita lihat di luar, tetapi tentang apa yang telah menempel dalam sebuah bias yang diwariskan dengan tenang.
Dalam sebuah riset yang hening, Amanda Sheehy membuka tabir ini: bahwa bias gender dalam pendidikan bukan selalu tentang niat buruk, melainkan tentang ketidaksadaran. Guru-guru tak serta merta ingin menciptakan ketidaksetaraan, namun bahasa yang digunakan, pilihan buku cerita, bahkan cara menegur anak laki-laki dan perempuan semuanya bisa menjadi benih yang menyuburkan stereotip. Yang menarik, perubahan tidak dimulai dari pelatihan teknis atau kurikulum yang kaku. Ia lahir dari sebuah tindakan sederhana namun radikal: refleksi.
Refleksi, dalam tulisan Sheehy, bukan hanya sebuah metode pedagogis. Ia adalah cermin yang memungkinkan seorang guru menatap dirinya bukan sekadar sebagai pendidik, tapi sebagai manusia yang telah terbentuk oleh sejarahnya sendiri. Seperti Maggie, yang ingat bagaimana ibunya bekerja tanpa jeda, sementara ayahnya duduk membaca koran. Atau Samuel, yang menyadari bahwa sapaan "mate" pada anak laki-laki telah menjadi bias yang meresap dalam. Di ruang-ruang sunyi inilah, kesadaran tumbuh.
Kesadaran, kata Dewey, adalah proses yang lahir dari pengalaman. Namun, dalam konteks pendidikan, ia menjadi tindakan politis. Sebab pendidikan, seperti diingatkan oleh Freire, tidak pernah netral. Jika guru tidak sadar akan cara mereka memperlakukan murid laki-laki dan perempuan secara berbeda, mereka tak hanya mengajar; mereka mewariskan ketidaksetaraan.
Ada keindahan yang sunyi dalam proses ini. Seperti seorang tukang kayu yang mulai mengganti alat-alatnya setelah menyadari bahwa pahat lamanya telah membuat goresan-goresan yang tak diinginkan. Guru-guru dalam studi ini tidak hanya mengubah kata-kata yang mereka pakai, mereka mengganti rak buku, menata ulang ruang bermain, bahkan menahan diri untuk tidak memanggil “anak-anak lelaki” hanya karena mereka bermain kasar. Mereka belajar untuk menjadi teladan, bukan dengan menjadi sempurna, tetapi dengan menjadi sadar.
Dan dari kesadaran itu, muncul keinginan untuk berbagi. Seperti Sophie, yang terus “membicarakan soal gender” di ruang guru, hingga rekan-rekannya mulai mengulang ucapannya. Ia menyebutnya efek bola salju. Dalam dunia yang terlalu terbiasa dengan ketidakpedulian, suara-suara kecil seperti ini dapat mengubah arah arus. Mereka bukan hanya guru. Mereka adalah penulis ulang masa depan.
Tulisan ini mengingatkan kita bahwa reformasi pendidikan tidak selalu dimulai dari kebijakan menteri atau revisi kurikulum. Kadang, ia lahir dari secangkir kopi di ruang guru, dari obrolan singkat di lorong, dari momen hening saat guru bertanya pada dirinya sendiri: “Apakah aku sudah adil?”
Kelas, dalam esai ini, bukan lagi tempat netral. Ia adalah ladang ideologi. Dan guru, bukan hanya fasilitator pembelajaran, tapi juga penjaga nilai. Ia bisa menjadi pemelihara hegemoni, atau pemecah rantai warisan patriarki. Yang menentukan adalah keberaniannya untuk bercermin.
Mungkin tugas pendidikan yang paling luhur bukan sekadar mencetak pengetahuan, tetapi menyembuhkan bias-bias yang diwariskan. Dan itu dimulai, seperti yang ditunjukkan dalam riset ini, dengan melihat ke dalam. Dengan berani mengakui bahwa kadang, kitalah yang perlu diajar ulang.
Di ruang kelas, cermin itu masih tergantung. Retak, mungkin. Tapi dari celah-celah retaknya, cahaya bisa masuk. Dan di dalamnya, seorang guru menatap dirinya, bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk berubah.
Posting Komentar