Catatan Kecil tentang Belajar yang Bermain
Di sebuah sudut ruang kelas yang tak asing, meja-meja kecil, tangan-tangan mungil yang kadang sibuk, kadang lengah seorang anak membangun kastil dari balok kayu. Di matanya, itu bukan sekadar mainan. Itu istana pengetahuan, di mana imajinasi dan logika saling bersisian. Tapi di mata banyak orang dewasa, itu hanyalah permainan, buang waktu yang riang.
Barangkali, sejak lama, pendidikan telah berdiri dengan wajah yang kaku. Ia dihormati seperti patung yang diam, penuh syarat, dan sedikit menakutkan. Kita menyebutnya “proses pembelajaran”, namun seringkali lupa bahwa belajar bukan sekadar menyerap, tapi mencipta. Bahwa pada dasarnya, manusia kecil itu tak hanya butuh tahu, tapi ingin merasakan, bermain, dan bertanya dengan rasa ingin tahu yang tak henti-henti.
Dalam kajian sistematis yang diamati oleh Xiaoyan Li dan Marjaana Kangas, ditemukan suatu paradoks yang menggugah: sekolah adalah tempat belajar, tapi sering kali melupakan cara alami manusia untuk belajar; bermain.
Bermain, dalam pandangan pedagogi yang reflektif, bukan pelarian dari belajar. Ia adalah cara lain untuk hadir lebih jujur, lebih hidup. Di sanalah guru tak hanya menjadi pengisi papan tulis, tapi menjadi perancang pengalaman, penggugah rasa ingin tahu, kadang rekan bermain, kadang pemantik refleksi.
Pada fase perencanaan, guru menjadi arsitek dari kemungkinan. Ia bukan hanya menyusun jadwal, tapi merancang petualangan. Ia bertanya dalam diam: bagaimana anak-anak ini bisa terlibat bukan karena harus, tapi karena ingin? Di sinilah muncul tantangan: merancang kurikulum yang bukan membatasi, tapi menuntun seperti peta yang memberi arah namun membebaskan penjelajahan.
Fase berikutnya, orientasi, menuntut guru menjadi pembuka pintu. Ia tidak memaksa masuk, tapi mengajak. Ia memperkenalkan dunia dengan bahasa yang anak-anak mengerti penuh metafora, gambar, permainan peran. Ia tidak bicara dari atas podium, tapi duduk sejajar, menatap mata, menunggu tanya.
Dan saat bermain tiba, peran guru berubah menjadi fasilitator. Ia tak lagi pusat perhatian, tapi gravitasi halus yang menjaga agar permainan tetap bermakna. Di sinilah terjadi pertukaran yang jujur: anak belajar tentang dunia, dan guru belajar tentang murid-muridnya. Ini bukan pengajaran satu arah. Ini dialog dalam gerak, tawa, dan teka-teki kecil yang kadang tak selesai dijawab.
Fase terakhir, elaborasi, sering kali dilupakan. Tapi justru di sinilah terjadi kristalisasi pengalaman. Guru dan murid duduk bersama, menatap kembali apa yang telah dilalui. Mereka tak hanya menilai jawaban, tapi mengenang proses. Mereka tak cuma bertanya "apa yang kamu tahu", tapi juga "apa yang kamu rasakan ketika tahu".
Di tengah semua itu, ada satu benang merah yang menggantung hening tapi kuat: kehadiran guru yang utuh. Guru yang bukan sekadar pelaksana kurikulum, tapi penafsir makna. Guru yang tidak takut terlihat bermain, karena tahu bahwa belajar dan bermain bukan dua hal yang bertentangan. Guru yang percaya bahwa tawa juga bisa menjadi pintu masuk bagi pengetahuan.
Namun, perjalanan ini tidak mudah. Dunia pendidikan masih sering tersesat dalam angka dan standar. Banyak guru yang ingin mencoba, tapi terbelit kebijakan. Banyak anak yang rindu bermain, tapi ruangnya sempit oleh ujian dan target. Di sinilah esai ini ingin berbisik: barangkali kita perlu mendengarkan kembali dunia anak-anak. Dunia di mana pertanyaan lebih penting dari jawaban, di mana bermain bukan gangguan, tapi cara lain untuk memahami.
Ada satu fragmen yang mengendap dari esai ini: bahwa bermain adalah bentuk keseriusan yang lembut. Ia tidak menggurui, tapi mengundang. Ia tidak menguji, tapi mengasah. Ia tidak terburu-buru menyelesaikan, karena tahu bahwa pemahaman sejati tumbuh perlahan, seperti benih yang belajar dari tanah.
Maka ketika seorang guru duduk di lantai, menyusun puzzle bersama muridnya, itu bukan sekadar bermain. Itu adalah tindakan pendidikan yang paling purba dan paling mendalam: menemani proses tumbuh dengan sabar, dengan gembira. Di sana, mungkin, sekolah akhirnya menemukan wajahnya yang manusiawi.
Catatan kaki: Tulisan ini merupakan refleksi dari hasil kajian literatur sistematis “A Systematic Literature Review of Playful Learning in Primary Education: Teachers’ Pedagogical Activities” oleh Xiaoyan Li dan Marjaana Kangas (2024), yang menggambarkan bahwa pendidikan yang penuh makna sering kali berawal dari tawa yang tak disangka dan guru yang berani turut serta di dalamnya.
Posting Komentar