ZMedia Purwodadi

Catatan dari Harold Rugg

Daftar Isi

Ada sebuah pagi yang sederhana. Anak-anak berjalan menuju sekolah, sepatu mereka menginjak jalanan berdebu, membawa buku-buku yang sudah lusuh di sudut-sudutnya. Barangkali mereka tak tahu, di dalam halaman-halaman buku itu, tersimpan sebuah dunia yang telah dipilihkan untuk mereka, dunia yang telah disusun, dirancang, diputuskan. Pertanyaannya: siapa yang memilihkan dunia itu?

Harold Rugg, seorang pendidik yang kerap dilupakan oleh waktu, menanyakan pertanyaan semacam itu dengan kegelisahan yang sunyi. Ia memandang sekolah bukan sekadar tempat belajar membaca dan berhitung, tetapi sebuah arena tempat imajinasi sosial dibentuk, dikendalikan, bahkan dibatasi. Bagi Rugg, kurikulum bukan sekadar daftar isi, melainkan peta kuasa yang menentukan bagaimana seorang anak kelak memandang dunianya.

Rugg percaya, pendidikan telah lama dikemas dalam bentuk yang terlalu teknis, terlalu sempit. Ia mengusulkan bahwa pendidikan harus menjadi alat untuk membentuk warga negara yang sadar dan kritis terhadap kehidupan sosialnya. Di balik papan tulis dan jadwal pelajaran, tersembunyi upaya yang lebih besar: membentuk tipe manusia yang patuh pada sistem, yang diam di hadapan ketidakadilan, yang menerima dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya.


Barangkali itulah sebabnya ia menolak gagasan bahwa sekolah harus menjadi mesin produksi buruh-buruh terampil yang taat. Ia menggugat ideologi dominan yang memosisikan pendidikan hanya sebagai tangga menuju pasar kerja. Baginya, pendidikan harus melampaui itu: ia harus menjadi ruang perenungan, tempat anak-anak belajar mempertanyakan, bukan sekadar menghafal.

Dalam pandangan Rugg, dunia tidak datang kepada kita dalam bentuk yang netral. Buku teks, ilustrasi, contoh-contoh soal, semuanya adalah produk dari pilihan nilai. Dan ia menegaskan, jika kita tidak berhati-hati, kita akan menanamkan dalam benak anak-anak sebuah gambaran dunia yang sempit, homogen, dan terpusat pada sudut pandang segelintir orang

Saya teringat pada kisah sederhana: seorang guru tua di desa yang dengan penuh kelembutan mengajak murid-muridnya menulis cerita tentang kampung halaman mereka. Ia mengabaikan buku teks yang memuat kisah-kisah tentang kota besar yang jauh. "Tulis tentang pohon jambu di halamanmu, tentang suara sungai yang kamu dengar setiap pagi," katanya. Dalam kebersahajaan itu, ia menerjemahkan gagasan besar Rugg: bahwa pendidikan harus membumi pada pengalaman, pada kenyataan yang dekat, yang hidup.

Rugg mengingatkan kita bahwa dalam memilih materi pelajaran, kita sesungguhnya sedang menentukan masa depan masyarakat. Apakah kita ingin mencetak anak-anak yang hafal rumus, atau anak-anak yang mampu menafsirkan ketidakadilan? Apakah kita ingin menumbuhkan manusia yang kritis, atau manusia yang patuh?

Gagasan Rugg, yang dikenal sebagai salah satu peletak dasar pendidikan rekonstruksionis sosial, mengajak kita membayangkan sekolah sebagai laboratorium perubahan sosial. Ia ingin kurikulum yang memungkinkan anak-anak untuk menggugat struktur sosial yang timpang, untuk melihat bahwa kemiskinan, diskriminasi, dan ketidaksetaraan bukanlah takdir, melainkan hasil dari pilihan-pilihan historis

Tetapi seperti banyak pemikir yang melawan arus, Rugg menghadapi perlawanan. Ia dituduh menyebarkan ideologi berbahaya. Bukunya dilarang. Namanya perlahan menghilang dari percakapan arus utama. Barangkali itu ironi yang pahit: bahwa dalam usahanya membebaskan pendidikan dari kontrol ideologis, ia justru menjadi korban dari kontrol itu sendiri.

Dan bukankah itu pula yang masih kita saksikan hari ini? Bahwa seringkali, pendidikan tetap menjadi alat legitimasi, bukan pembebasan. Kita masih menulis buku-buku yang menyingkirkan cerita rakyat, mengabaikan suara pinggiran, dan mengukuhkan cara pandang tunggal yang sering disebut "standar nasional." Kita lupa bahwa yang nasional tidak selalu merepresentasikan yang nyata.

Namun, barangkali warisan terbesar dari Rugg bukan pada teorinya yang tersusun rapi, melainkan pada kegelisahan yang ia wariskan: bahwa pendidikan selalu mengandung pilihan moral. Dan seperti yang pernah dikatakannya, "Tidak ada kurikulum yang netral. Dalam setiap keputusan, selalu terselip pertanyaan: dunia seperti apa yang ingin kita bangun?"

Di sinilah saya terdiam. Merenungkan kembali buku pelajaran yang dulu saya baca di sekolah. Buku yang mungkin tak pernah mengajarkan saya untuk mempertanyakan. Buku yang sibuk mengajarkan rumus, tetapi lupa mengajarkan empati. Buku yang mungkin membuat saya menghafal sejarah peperangan, tetapi tidak pernah mengajak saya memahami luka yang ditinggalkannya.

Mungkin, jika Harold Rugg ada di sini hari ini, ia akan mengajak kita membuka buku-buku itu lagi. Bukan untuk mencari jawaban, tetapi untuk menggugat pertanyaan-pertanyaan yang selama ini kita diamkan. Ia akan mengajak kita berjalan di lorong-lorong sekolah, mendengarkan suara anak-anak, bukan untuk membentuk mereka sesuai standar, tetapi untuk mendengarkan dunia yang mereka bayangkan.

Dan bukankah tugas pendidikan, pada akhirnya, adalah membuka pintu menuju dunia yang lebih adil? Dunia yang ditulis ulang, bukan hanya oleh mereka yang memegang kuasa, tetapi juga oleh tangan-tangan kecil yang hari ini sedang belajar menulis alfabet.

Seperti pagi itu, ketika anak-anak melangkah dengan kaki kecil mereka menuju sekolah, membawa buku-buku lusuh yang mungkin, diam-diam, sedang membingkai dunia mereka. Dunia yang semoga, tidak lagi dipilihkan sepihak.


Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day

Posting Komentar