Cahaya dan Bayangan
Ada masa dalam hidup ketika kebenaran terasa terlalu terang untuk ditatap langsung. Dalam cahaya itu, segala sesuatu kehilangan bayangannya dan justru di sanalah Al-Ghazali menemukan pergulatannya. Ia tidak lahir sebagai seorang yang ragu. Sebaliknya, ia tumbuh dalam tradisi ilmu yang kaya, dalam gemuruh logika kalam dan semangat rasionalitas filsafat. Tapi di puncak penguasaannya akan sains keislaman, ia justru memilih sunyi. Ada sesuatu yang lebih tinggi dari pengetahuan, pikirnya. Dan pendidikan, barangkali, bukan sekadar tentang menyampaikan kebenaran, tetapi juga tentang menemukan cara untuk menanggung kebenaran itu dengan jiwa yang utuh.
Al-Ghazali adalah seorang penjelajah kesadaran. Ia tidak berhenti pada tataran wacana dan dogma, tetapi mengobrak-abrik fondasi keyakinannya sendiri. Dalam satu titik, ia meragukan segalanya termasuk cara berpikir yang selama ini ia andalkan. Seperti seorang yang mendaki gunung dan tiba-tiba tidak lagi yakin pada tanah yang dipijaknya. Ia menanggalkan jubah akademik dan jabatan prestisiusnya di Baghdad. Ia meninggalkan ruang-ruang pengajaran, memilih pengasingan, dan menyelam ke dalam kedalaman hati.
Apa yang ia cari? Dalam esensinya: kebenaran yang tidak bisa runtuh oleh argumen. Ia menamai pencarian itu sebagai jalan sufisme. Tapi ini bukan sekadar pelarian spiritual, melainkan transformasi cara memandang ilmu dan pendidikan.
Dalam tradisi modern, pendidikan sering dibayangkan sebagai tangga langkah demi langkah menuju puncak pengetahuan. Tapi bagi Al-Ghazali, pendidikan lebih mirip jendela. Ia tidak hanya membuka pandangan ke luar, tetapi juga memantulkan wajah kita sendiri. Sebab, yang terutama dalam belajar bukanlah berapa banyak buku yang dibaca, tetapi seberapa dalam jiwa dibentuk. Dalam pandangannya, ilmu yang tidak mengubah hati hanya akan menjadi debu yang berkilau. Maka, ia membedakan ilmu dunia dan ilmu akhirat bukan sebagai dikotomi sempit, tapi sebagai cermin tentang arah dan niat.
Namun dunia tidak selalu mendengar suara hati. Di zamannya, sebagaimana juga kini, pendidikan terperangkap dalam kekuasaan. Ia bisa dijadikan alat untuk meneguhkan status sosial, membenarkan ideologi, atau melanggengkan struktur. Dalam pusaran itu, Al-Ghazali mencoba menjadi saksi dan penyeimbang. Ia menerima akal, tetapi menempatkannya dalam rangka kehambaan. Ia merangkul filsafat, tapi tidak menjadi tawanan logika. Ia mengajarkan bahwa kebebasan sejati datang dari pengenalan diri dan pada akhirnya, pengenalan Tuhan.
Suatu kali ia menulis bahwa syak (keraguan) adalah jalan pertama menuju keyakinan. Pernyataan ini terdengar aneh dari seorang tokoh keagamaan, tetapi justru di sanalah revolusi sunyi Al-Ghazali dimulai. Ia menunjukkan bahwa iman bukan hasil doktrin, melainkan pergulatan. Maka pendidikan sejati tidak mematikan pertanyaan, tetapi memeliharanya. Ia adalah taman di mana benih ragu bisa tumbuh menjadi keyakinan yang matang bukan karena ditanamkan, tetapi karena ditemukan.
Dan barangkali, di situlah keindahan pemikirannya: bahwa setiap murid adalah pengembara. Setiap kelas adalah persimpangan. Dan tugas pendidikan bukanlah menunjukkan jalan, tetapi menyalakan lentera.
Dalam dunia yang tergesa dan serba prosedural, suara Al-Ghazali terdengar seperti bisikan dari masa lalu. Tapi justru karena itu, ia menjadi gema yang menggetarkan: bahwa kita perlu mendidik manusia, bukan hanya pikiran. Bahwa pendidikan adalah latihan kesadaran. Bahwa mengetahui tanpa mencintai adalah kekosongan. Dan mencintai tanpa mengetahui adalah kesesatan.
Pada akhirnya, Al-Ghazali tidak membenci ilmu. Ia hanya menolak ilmu yang kehilangan cahaya Tuhan. Ia tidak menolak sekolah, ia hanya mengingatkan bahwa sekolah harus mengajar bukan hanya tentang dunia, tetapi tentang bagaimana menempatkan dunia di hadapan keabadian. Ia tidak menentang guru, ia hanya mengajak guru untuk lebih dulu mendidik diri.
Mungkin, inilah pelajaran yang harus kita renungkan hari ini: bahwa mendidik bukan perkara kurikulum, tapi keberanian spiritual. Bukan tentang menyiapkan anak untuk pasar kerja, tetapi menyiapkan jiwa untuk menghadapi sunyi, makna, dan mati.
Al-Ghazali pernah berjalan ke tengah gelap untuk mencari cahaya. Dan dalam pengasingannya, ia tidak menemukan Tuhan sebagai argumen, tetapi sebagai kehadiran. Ia tidak kembali sebagai orang yang lebih pintar, tetapi sebagai orang yang lebih hening.
Dan bukankah itu tujuan pendidikan yang hakiki? Bukan melahirkan manusia yang lantang bicara, tapi manusia yang tahu kapan harus diam dan kepada siapa seharusnya ia bersujud.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar