ZMedia Purwodadi

Berat Tubuhku Adalah Cintaku

Daftar Isi

Suatu pagi, saya melihat seorang anak kecil duduk sendiri di pojok taman. Di tangannya ada selembar buku cerita yang terbuka, tapi matanya tak tertuju pada huruf-huruf. Ia sedang mendengar sesuatu yang tak kasat mata, mungkin suara semesta atau bisikan dalam hatinya yang masih jernih. Dan saya teringat kalimat tua dari seorang Bapa Gereja: “My weight is my love.” Berat tubuhku adalah cintaku. Kita semua, seperti benda-benda di langit dan tanah, sedang ditarik menuju tempat di mana cinta kita ingin berdiam.

Augustinus, orang Hippo yang menulis dalam keheningan gereja dan gempita keruntuhan kekaisaran, melihat pendidikan bukan sebagai transmisi informasi, melainkan sebagai perjalanan pulang. Ia percaya bahwa tak seorang pun bisa benar-benar mengajar orang lain. Semua guru, katanya, adalah petunjuk arah. Tapi arah itu sendiri tak berarti tanpa langkah kaki si pejalan. Pengetahuan sejati bukanlah sesuatu yang diberikan dari luar, melainkan dibangkitkan dari dalam. Dan yang membangkitkan itu bukan manusia, melainkan Tuhan.


Kita hidup di zaman yang riuh dengan pelatihan dan modul. Pendidikan sering dipahami sebagai industri, bahkan militer: ada kurikulum, ada target, ada evaluasi. Tapi Augustine mengajak kita merenungkan kembali: bagaimana jika belajar bukan soal mencetak hasil, melainkan membangkitkan cahaya? Bukan menyulut lentera dari luar, tapi meniup abu dalam dada seseorang agar bara itu menyala lagi?

Ia menyebutnya interior teacher, guru batiniah. Seorang guru sejati hanyalah jendela, dan jendela tidak pernah menjadi cahaya. Yang benar-benar menerangi adalah Matahari yang datang dari dalam jiwa. Dalam tulisannya De Magistro, ia mengatakan bahwa bahkan Kristus sendiri tidak mengajar dengan cara manusiawi; Ia hadir dalam batin murid-murid-Nya dan membisikkan kebenaran langsung ke dalam hati.

Mungkin karena itu Augustine tak pernah tergesa-gesa dalam mengoreksi kesalahan. Ia tahu, tidak semua kesesatan adalah bentuk kebodohan. Kadang, ia adalah bentuk cinta yang sedang mencari tempatnya. Dan bukankah itu juga bagian dari belajar?

Ada kisah tentang seekor ayam betina yang merentangkan sayapnya untuk anak-anaknya. Dalam analogi yang lembut itu, Augustine menggambarkan cara Kristus mengajar. Bukan dari atas mimbar, melainkan dari bawah, dengan kesabaran seorang ibu, bukan otoritas seorang hakim. Pendidikan, bagi Augustine, adalah seni turun ke kedalaman orang lain tanpa merasa lebih tinggi darinya. Karena yang sedang dibantu bukanlah ingatan, tetapi jiwa.

Ia pernah menghibur seorang pengajar muda bernama Deogratias yang merasa gagal dalam mengajar. Augustine tidak menyodorkan teknik atau strategi. Ia hanya menyarankan agar kegembiraan dan kasih tampak dalam setiap kalimat yang diucapkan. Karena sukacita adalah cara Tuhan berbicara dalam bahasa manusia. Seorang guru yang gembira, katanya, lebih berharga daripada seribu silabus.

Tapi ia tidak naif. Ia tahu bahwa seorang guru bisa letih. Bisa merasa kosong, terbebani, tergoda untuk lari ke pekerjaan lain yang lebih memikat. Namun justru di situ, Augustine menyelipkan bijak pandangnya. Kita pun sedang belajar saat mengajar. Bahkan ajaran yang paling tua bisa menjadi baru lagi, jika diucapkan dengan cinta yang diperbarui.

Barangkali karena itu, Augustine menyukai percakapan yang bersahaja. Modesta collatione, katanya, dialog yang lembut dan bersahabat. Ia tidak percaya pada debat yang ingin menang, melainkan pada percakapan yang ingin mengerti. Ia menyarankan agar kita tidak bicara kepada murid seolah-olah mereka tahu segalanya, tapi juga jangan seolah-olah mereka tahu tiada apa-apa. Ajarlah mereka seakan kita sedang mengingatkan apa yang sebenarnya telah mereka tahu, tapi lupa.

Di dunia di mana anak-anak dididik untuk bersaing dan menghafal, kata-kata Augustine terdengar seperti bisikan dalam badai. Tapi mungkin memang itu yang kita butuhkan: sebuah bisikan yang mengingatkan bahwa cinta lebih besar daripada kecakapan, dan bahwa pengetahuan sejati tak pernah datang dari luar, melainkan dari kerinduan terdalam akan kebenaran.

Ia menulis bahwa ketika ia belajar bahasa Latin, ia mempelajarinya tanpa paksaan, tanpa cambuk. Ia belajar karena ia ingin, karena hatinya tergugah. Tapi saat ia dipaksa mempelajari Yunani dengan hukuman dan ancaman, ia membencinya. Ia belajar, ya, tapi tanpa cinta. Dan pengetahuan yang datang tanpa cinta, baginya, adalah pengetahuan yang belum menemukan rumah.

Maka, dalam pendidikan yang sejati, pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah: “Apa yang harus dia ketahui?” tetapi: “Apa yang sedang ia cintai?” Sebab cinta adalah gravitasi roh. Ia menarik jiwa ke tempat yang seharusnya. Ia memberi bobot pada hidup. Augustine percaya, kita tidak bisa netral dalam belajar. Kita selalu sedang tertarik oleh sesuatu. Dan tugas pendidikan adalah membantu murid mengenali gaya tarik itu, dan bertanya: ke mana ia sedang menuju?

“Restless is our heart,” tulisnya, “until it rests in You.” Pendidikan, mungkin, bukan lain adalah usaha panjang untuk membuat hati yang gelisah itu menemukan tempatnya. Bukan dengan memberi jawaban, tetapi dengan menemani perjalanan. Bukan dengan mencetak pikiran, tetapi dengan menyentuh hati.

Dan karena itu, seorang guru sejati adalah seorang peziarah. Ia tidak membawa obor, tapi berjalan di samping. Ia tidak menjanjikan peta, tapi menawarkan telinga. Ia tidak memaksakan jalan, tapi menyediakan waktu.

Hari ini, saya kembali melihat anak kecil itu. Ia masih duduk, kini dengan lembar buku yang sedikit terlipat. Mungkin ia sudah lupa cerita yang ia baca. Tapi saya suka membayangkan: mungkin ada cahaya yang diam-diam menyala di dalam dirinya. Mungkin, di luar segala kurikulum dan nilai rapor, ia sedang belajar mencintai.

Dan jika itu terjadi, maka berat tubuhnya, seperti kata Augustine, bukan lagi beban, melainkan arah.


Referensi: Fifty Major Thinkers on Education

Posting Komentar