Belajar Lewat Dunia Anak
Ada yang ganjil ketika seorang anak berbicara kepada boneka mainannya dengan sungguh-sungguh, seolah benda mati itu menyimpan rahasia yang hanya mereka berdua pahami. Kita yang dewasa, sering tersenyum dan menyebutnya "khayalan". Tapi Jean Piaget, dalam keheningan laboratorium mentalnya, melihat di sana sebuah dunia. Bukan dunia yang palsu, tapi dunia dalam proses menjadi.
Ia tidak tertarik untuk mendewasakan anak sebelum waktunya. Ia justru ingin mengerti logika yang dibangun anak di dunia kecilnya sendiri, dengan hukum-hukum yang berbeda dari dunia orang dewasa. Seperti seorang antropolog yang mempelajari budaya yang asing, Piaget menyelami dunia anak dan menemukan bahwa mereka bukanlah orang dewasa miniatur, melainkan makhluk dengan struktur berpikir yang otonom, organik, dan terus berubah
Kita sering lupa: belajar tidak selalu tentang mengisi gelas kosong, tapi kadang tentang menumbuhkan pohon. Dalam setiap tahap perkembangan yang dirumuskan Piaget, sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, hingga formal, ada jejak sebuah evolusi mental, seperti metamorfosis kupu-kupu. Anak bukan sekadar menyerap pengetahuan, tapi mengorganisasi pengalaman dengan cara yang aktif, kreatif, bahkan radikal.
Bayangkan seorang anak yang untuk pertama kalinya menjatuhkan sendok dari meja dan melihatnya jatuh ke lantai. Ia mengulanginya, lagi dan lagi. Bagi kita, itu bisa menjengkelkan. Tapi bagi Piaget, itu adalah eksperimen ilmiah. Anak sedang membangun konsep sebab-akibat, sedang menulis buku fisika versinya sendiri sebelum tahu kata "gravitasi". Belajar adalah proses konstruktif, bukan pasif. Anak adalah sang arsitek pemikirannya.
Ada yang sunyi tapi gemuruh dalam pandangan Piaget, bahwa kecerdasan bukanlah warisan, bukan pula cetakan. Ia tumbuh dari interaksi, dari konflik antara harapan dan realitas, dari ketegangan antara asimilasi dan akomodasi. Dunia tidak cukup hanya dimasukkan ke dalam diri anak. Dunia harus dipelintir, diuji, ditafsirkan. Piaget menolak gagasan bahwa pendidikan adalah transfer kebenaran. Baginya, pendidikan sejati adalah pembebasan, membebaskan anak untuk berpikir.
Piaget tidak menulis puisi, tapi gagasannya sering terasa puitis. Bahwa berpikir logis tidak lahir dari logika formal, tapi dari mainan kayu, dari percakapan dengan diri sendiri, dari pertanyaan tentang “kenapa langit biru?”. Ia menganggap kesalahan bukan aib, tapi bukti bahwa anak sedang berpikir. Dalam kekeliruan, tersimpan kejujuran.
Tapi dunia pendidikan, kadang terlalu tergesa. Kita lebih cepat memberi jawaban ketimbang mendengarkan pertanyaan. Kita lebih gemar menilai daripada memahami. Kita lupa bahwa berpikir adalah proses yang lambat, berliku, dan kadang absurd. Bahwa anak tidak bodoh karena belum mengerti, melainkan karena kita terlalu cepat memutuskan bahwa hanya ada satu cara untuk mengerti.
Dalam lanskap Piaget, waktu menjadi kawan. Ia percaya bahwa struktur kognitif berkembang lewat tahap-tahap yang tidak bisa dilompati. Setiap tahap adalah fondasi bagi tahap berikutnya. Maka, tidak ada gunanya memaksa anak memahami logika proposisional sebelum ia menuntaskan logika konkret. Seperti tidak bijak mengharapkan bunga mekar sebelum waktunya.
Ada kelembutan filosofis dalam gagasan itu. Bahwa manusia, sejak kecil, memiliki martabat epistemik. Mereka punya cara sendiri untuk mengenal dunia. Mereka punya irama belajar yang tidak selalu sejalan dengan sistem ujian. Pendidikan, dalam semangat Piaget, bukanlah akselerasi, tapi resonansi, resonansi antara potensi batin dan dunia nyata.
Tentu, teori Piaget bukan tanpa kritik. Ia dianggap terlalu menekankan aspek individual, kurang memperhitungkan konteks sosial dan kultural. Tapi barangkali itulah kontribusi besarnya, membuka ruang bagi pemikiran bahwa belajar adalah proses yang personal, bukan prosedural. Ia memberi hak kepada anak untuk membangun dunianya sendiri, dengan kesalahan, dengan kebingungan, dengan kebebasan.
Di zaman ketika pendidikan sering didefinisikan oleh target dan tabel, Piaget mengajak kita kembali ke pengalaman belajar itu sendiri. Ia mengingatkan kita bahwa memahami anak bukan berarti menyamakan mereka dengan kita. Tapi mendekat dengan rasa hormat. Karena di balik tatapan polos dan kalimat ganjil seorang anak, sedang tumbuh sebuah dunia. Dunia yang tak hanya ingin tahu, tapi ingin menjadi.
Maka ketika suatu hari kau melihat seorang anak menatap langit lalu berkata, “awan itu sedang berjalan pelan karena kakinya sakit”, jangan buru-buru membetulkannya. Duduklah di sampingnya. Tanyakan, kenapa ia berpikir begitu. Dengarkan logika di balik khayalnya. Di sanalah Piaget tersenyum: karena dunia tidak selalu harus benar, untuk bisa dimengerti.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar