ZMedia Purwodadi

Bayang-bayang Sebuah Seragam Sekolah

Daftar Isi

Ada anak-anak yang berjalan ke sekolah bukan karena mereka ingin tahu, tapi karena mereka ingin selamat. Jalanan berlumpur, pagi yang belum selesai, dan seragam lusuh yang tidak selalu bersih, itu bukan pemandangan luar biasa di Ekiti, Nigeria. Bagi mereka, sekolah adalah satu-satunya tempat yang menawarkan kemungkinan, meski samar, untuk keluar dari hidup yang terus-menerus menagih.

Apa arti kemiskinan bagi seorang anak? Barangkali jawabannya tidak ditemukan dalam grafik, melainkan dalam jeda saat seorang anak menahan lapar sebelum menyebutkan nama lengkapnya di kelas. Atau dalam gumam seorang gadis kecil yang tak sempat mengerjakan tugas karena malamnya dihabiskan mencuci pakaian saudara-saudaranya.

Kemiskinan bukan sekadar tidak punya. Ia adalah suasana: bau tanah basah yang menggenang di rumah tanpa lantai; lampu minyak yang redup menerangi buku tulis yang halaman-halamannya mulai terlepas. Ia juga suara teriakan orang tua yang bertengkar soal biaya sekolah, lalu diam yang panjang setelah itu.


Ada saat ketika pendidikan bukan lagi proses, tapi pertahanan. Bukan tentang nilai rapor, tapi tentang bertahan dari lupa. Lupa pada siapa yang kita ingin jadi, lupa pada impian masa kecil yang lama-lama diserahkan pada kenyataan.

Di antara data yang dibeberkan dalam laporan ini, persentase, rerata, koefisien regresi, tersembunyi sesuatu yang tak diukur: rasa malu. Seorang anak perempuan berkata ia tak sanggup lagi melihat teman-temannya makan bekal yang tidak pernah ia punya. Temannya berkata bahwa ia merasa bersalah tiap kali minta sepatu baru. Keduanya tetap datang ke sekolah, bukan karena yakin akan masa depan, tapi karena takut tertinggal dari masa lalu.

Dan di tengah itu, ada pertanyaan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Data bilang tak ada perbedaan signifikan. Tapi apa yang bisa kita tangkap dari angka jika suara anak perempuan diredam oleh tugas rumah dan aturan tak tertulis bahwa "anak perempuan harus tahu diri"? Sementara saudara laki-lakinya bermain bola, ia mengaduk panci di dapur. Ia belajar mengeja sambil menidurkan adiknya.

Di ruang kelas, mungkin mereka duduk berdampingan. Tapi perjalanan menuju kursi itu tak pernah sama.

Kadang saya berpikir, pendidikan di negeri-negeri yang getir bukanlah jembatan, tapi tangga sempit yang digantung dari langit, terlalu tinggi bagi yang tak diberi daya. Mereka yang bisa memanjat bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka diberi lebih dulu: makanan, cahaya, waktu.

Tapi ada anak-anak yang tetap mencoba. Dengan buku yang sobek dan pensil yang hampir habis, mereka menulis huruf demi huruf seperti berdoa. Mereka tidak menyadari bahwa yang sedang mereka lakukan adalah bentuk paling sunyi dari harapan.

Mereka tak bicara soal "engagement akademik" atau "perceived poverty". Mereka hanya tahu satu hal: bahwa mereka ingin tetap datang. Bahwa di balik segala kekurangan, ada sesuatu yang tak bisa diambil dari mereka, keinginan untuk mengerti.

Mungkin yang bisa dilakukan dunia bukanlah memperbaiki angka-angka, tapi memperbaiki cara mendengar. Mendengar jeritan yang tak jadi suara. Mendengar doa yang tak disebutkan. Dan dari sana, pelan-pelan, membangun kebijakan yang bukan hanya efektif, tapi juga empatik.

Karena barangkali satu-satunya cara menyelamatkan dunia adalah dengan membiarkan anak-anak percaya bahwa dunia ini masih mungkin menyelamatkan mereka.


Sumber baca:

Posting Komentar