Bahasa, Pikiran, dan Dunia
Di sebuah sore yang tidak terburu-buru, seorang anak kecil duduk di tepi jendela. Ia memegang sepotong roti dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk menggambar angin di udara. Seolah udara itu bukan sekadar ruang kosong, melainkan papan tulis tempat segala kemungkinan bisa muncul. Dalam setiap coretan samar itu, ada bisikan yang tidak bisa didengar oleh telinga biasa, bisikan yang ingin mengubah dunia menjadi lebih bisa dimengerti. Dan mungkin, lebih bisa dicintai.
Itulah dunia yang coba dibaca oleh Lev Vygotsky. Dunia di balik bahasa yang masih bergetar di lidah seorang anak. Bagi Vygotsky, anak-anak bukanlah bejana kosong yang harus diisi, tapi lebih seperti seniman kecil yang terus membentuk dunianya dengan alat paling purba yang dimiliki manusia: kata.
Kata, bukan hanya alat komunikasi, tetapi jendela menuju kesadaran. Dalam setiap gumaman anak, ada narasi yang dibangun, disusun, dan diulang, sebagai cara untuk memahami dunia dan dirinya sendiri. Maka, saat seorang anak berbicara pada dirinya sendiri, apa yang disebut Vygotsky sebagai "private speech", itu bukanlah kebisingan, melainkan nyanyian sunyi menuju kematangan berpikir.
Bayangkan seorang anak yang sedang belajar mengikat tali sepatu. Sendirian, ia gagal. Tapi dengan sedikit bimbingan, dengan tangan orang dewasa yang menuntun sambil berkata "lewat sini, lalu ke situ," ia perlahan berhasil. Maka, pembelajaran bukanlah paksaan dari luar, melainkan jembatan yang dibangun bersama.
Namun jembatan itu tidak dibangun dengan batu bata kebisingan. Ia dibangun dengan kata. Kata-kata yang diserap, diputar ulang, lalu diucapkan kembali dalam bentuk yang baru. Di sinilah letak kekuatan bahasa: ia bukan hanya alat untuk mengatakan, tapi untuk memikirkan. Ketika anak-anak mulai berbicara dalam hati mereka sendiri, mereka sebenarnya sedang belajar berpikir. Private speech adalah cikal bakal berpikir internal.
Kita sering lupa bahwa banyak hal dalam diri kita, bahasa, nilai, cara bertanya dan menjawab, bukan berasal dari diri sendiri, tetapi dari orang lain. Vygotsky mengajak kita menyadari bahwa segala yang paling pribadi justru lahir dari yang paling sosial. Pikiran bukanlah mata air, tetapi sungai yang mengalir dari pertemuan-pertemuan.
Ia menolak gagasan bahwa perkembangan kognitif hanya bisa diukur dengan tes atau angka. Baginya, perkembangan adalah kisah yang terus bergerak, dan kisah itu ditulis dalam percakapan. Bukan hanya percakapan antara guru dan murid, tapi juga percakapan batin: antara si kecil dengan dirinya sendiri, antara kenangan dan harapan.
Maka sekolah, dalam pandangan Vygotsky, bukanlah pabrik pengetahuan, tetapi rumah bagi dialog. Di sanalah kata-kata menemukan bentuknya yang paling hidup. Di sanalah anak-anak belajar untuk tidak hanya menjawab soal, tetapi untuk memahami mengapa pertanyaan itu penting. Pendidikan, dalam pengertian ini, bukan sekadar penyampaian materi, melainkan pengasuhan kesadaran.
Saya teringat pada seorang anak laki-laki yang dulu saya temui di sebuah taman kecil. Ia duduk sambil berbicara sendiri, menceritakan kepada semut-semut di sekelilingnya tentang rencana membangun kota dari batu-batu kecil. "Ini akan jadi rumah," katanya, "dan di sini tempat pasar, di sana jalan tol." Tak ada yang memerintahnya berpikir seperti itu. Tak ada kurikulum yang mengharuskan imajinasi semacam itu. Tapi di situlah pendidikan hidup: dalam permainan yang sungguh-sungguh, dalam cerita yang dirancang oleh kata-kata sendiri.
Vygotsky melihat itu sebagai bukti bahwa bermain adalah kerja intelektual yang paling mendalam. Dalam bermain, anak menciptakan aturan, menjalankan peran, dan menguji dunia. Bermain adalah bentuk awal dari pemikiran simbolik. Saat seorang anak berpura-pura menjadi dokter, ia sedang mempelajari struktur sosial dan logika tindakan. Ia belajar berpikir dengan cara yang tak bisa disediakan oleh buku teks mana pun.
Namun dunia modern sering kali terlalu tergesa. Ia ingin hasil instan, ukuran pasti, dan kemampuan yang bisa diuji dengan soal pilihan ganda. Dalam hiruk-pikuk itu, suara anak-anak yang berbicara sendiri sering dianggap remeh. Padahal, di dalam bisikan-bisikan itulah sedang tumbuh seorang pemikir kecil.
Vygotsky mengingatkan kita: jangan buru-buru menilai. Setiap anak memiliki waktu tumbuhnya sendiri. Dan waktu itu tidak bisa dipercepat tanpa kehilangan keajaiban prosesnya. Dalam dunia pendidikan yang kerap diburu target, ia mengajak kita menengok kembali ke dalam: ke ruang antara yang sosial dan personal, antara kata dan pikiran, antara bimbingan dan kebebasan.
Saya membayangkan dunia yang lebih pelan. Di mana anak-anak didengar bukan hanya saat mereka menjawab, tapi juga saat mereka bertanya. Di mana guru tidak tergesa menyampaikan materi, tapi memberi ruang bagi perenungan. Di mana kata tidak hanya dijadikan alat, tetapi teman berpikir.
Dalam dunia seperti itu, mungkin kita akan lebih sering melihat anak-anak berbicara sendiri. Dan kita tidak akan buru-buru menyuruh mereka diam. Sebab kini kita tahu: mereka sedang belajar menjadi manusia.
Seperti anak kecil di jendela itu. Tangan kirinya memegang sisa roti, tangan kanannya masih menggambar angin. Di udara itu, ia tidak sekadar bermain. Ia sedang membisikkan dunia.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar