ZMedia Purwodadi

Antara Kata dan Sunyi

Daftar Isi

Di sebuah ruang kelas, seorang anak mengangkat tangannya. Bukan untuk bertanya. Bukan pula untuk menjawab. Ia hanya ingin menceritakan apa yang ia pikirkan tentang sebuah cerita yang baru saja dibacakan gurunya. Tangannya gemetar, suaranya kecil. Ia menuturkan tafsir yang tak terduga, sebuah makna yang mungkin tak pernah terpikirkan bahkan oleh sang penulis.

Barangkali, di situlah letak rahasia yang selama ini kita cari: membaca bukan hanya mengurai kata, tetapi menemukan diri sendiri di antara kalimat-kalimat yang diam.

Namun, di negeri yang sibuk menghitung angka dan mengejar skor, ruang-ruang seperti itu semakin menyempit. Guru-guru di sekolah dasar, sebagaimana dicatat dalam penelitian ini, hidup dalam tarikan dua kutub: antara cinta pada bacaan dan keharusan mengejar hasil ujian. Mereka mengajar dengan tangan yang terikat, diatur oleh sistem yang menuntut hasil terukur, tapi jarang memberikan peta tentang bagaimana sampai ke sana.

Di atas kertas, kebijakan menuliskan apa yang harus diajarkan. Tapi tidak memberi jalan tentang bagaimana mengajarkannya. Guru-guru belajar bukan dari buku-buku kebijakan, melainkan dari pengalaman sehari-hari, dari kekeliruan, dari kegembiraan anak-anak, dari kebosanan yang kadang tak bisa dihindari. Mereka, pada akhirnya, adalah para perakit jalan, meraba dalam kabut, mencari celah untuk tetap memanusiakan bacaan.

Ada satu narasi kecil yang berulang: tentang seorang guru yang menjumpai murid-muridnya tidak mengenal kata-kata sederhana. Kata “winch” membuat satu kelas terdiam. Mereka tak pernah mendengar, apalagi melihat alat itu. Maka sang guru pun harus menjadi aktor. Ia memeragakan, ia menghidupkan. Kata itu, yang semula beku, tiba-tiba menjadi gerak. Inilah bacaan yang menjadi tubuh.

Tapi tidak semua guru punya ruang untuk bermain seperti itu. Ada yang terperangkap dalam pusaran ujian. Mereka mengajarkan “trik”, bukan lagi pemahaman. Mereka melatih anak-anak menjawab pertanyaan pilihan ganda, menghafal cara menemukan informasi dengan cepat, bukan menikmati perjalanan di dalam teks. Mereka tahu ini kering, mereka tahu ini menyedihkan, tapi mereka terpaksa. Karena di ujung perjalanan, yang dinilai bukanlah kegembiraan membaca, melainkan angka di lembar jawaban.


Seorang guru bercerita, bagaimana ia harus “berbisik” ketika mengaku mengajar dengan pendekatan ujian. Ada rasa malu di sana. Seperti seorang seniman yang dipaksa melukis dengan cetakan.

Namun di sela-sela itu, masih ada yang berusaha melawan. Masih ada yang membacakan buku keras-keras setiap pagi, menghadirkan suara dan irama yang hangat di kelasnya. Masih ada yang membawa anak-anak keluar, mengenalkan dunia yang lebih besar dari halaman buku. Masih ada yang percaya bahwa kesenangan membaca bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan yang tak bisa ditawar.

Di ruang yang sempit, guru-guru itu menciptakan kebebasan kecil mereka sendiri. Mereka menemukan “agen”-nya, mengambil alih ruang keputusan yang semestinya sudah direnggut. Mereka berbagi cerita dengan rekan sejawat, menemukan ide dari komunitas maya, mencuri waktu dari jadwal yang padat untuk mendengarkan suara anak-anak yang membaca dengan sepenuh hati.

Mungkin itulah yang membuat mereka bertahan. Dalam penelitian ini, mereka tak banyak menyebutkan pengaruh pelatihan atau literatur akademik. Justru pengalaman pribadi, ingatan masa kecil tentang guru yang membacakan cerita dengan suara yang hidup, yang membentuk mereka. Sebuah kesaksian sunyi tentang bagaimana pendidikan bergerak: bukan selalu dari atas, bukan selalu dari kebijakan, tetapi dari ruang-ruang kecil yang nyaris tak terlihat.

Barangkali kita telah terlalu lama membicarakan membaca sebagai keterampilan, sebagai strategi, sebagai alat untuk lulus ujian. Kita lupa bahwa membaca, pada akhirnya, adalah seni menjadi manusia, belajar memahami yang lain, merasakan yang tak dikatakan, menemukan diri kita sendiri di antara halaman-halaman yang diam.

Dan di sana, para guru, dengan segala keterbatasannya, masih berusaha menyalakan nyala kecil itu. Kadang mereka gagal, kadang mereka lelah, tapi mereka tetap mencoba.

Mungkin, dalam dunia yang sibuk memburu hasil, hanya dengan cara itulah manusia bisa tetap utuh: dengan membaca, dengan mendengarkan, dengan tidak lupa bahwa di balik setiap kata, selalu ada kemungkinan lain, selalu ada anak kecil yang mengangkat tangannya, bukan untuk menjawab, tetapi untuk menemukan dunia yang belum kita kenali.


Sumber baca:

Posting Komentar